Translate

Monday 15 June 2015

KEUANGAN NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di indonesia mencerminkan ketegangan–ketegangan antara pandangan yang mendukung pembagian kekuasaan dan antara pandangan yang menekankan segi fungsi pemerintah daerah dan pandangan yang menekankan segi peranan politik pemerintah daerah. Di pihak lain, pemerintah pusat cenderung menggunakan peralatan keuangan yang memungkinkannya dapat terus mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah. Kecuali peranannya yang cukup besar dalam usaha menambah tenaga kerja di kantor pajak pemerintah daerah, pemerintah pusat boleh dikatakan tidak ada mengambil langkah-langkah untuk mendorong pemerintah daerah untuk mengerahkan sendiri sumber penerimaannya, campur tangannya sebagian besar justru mengurangi atau menghapuskan pajak daerah,pajak ekspor yang diserahkan pada provinsi dihapuskan oleh pemerintah orde baru, meski alasannya cukup kuat dan diganti dengan bantuan blok untuk pembangunan yang di hitung dan diarahkan oleh pemerintah pusat.
1.2. RUMUSAN MASALAH

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian dan Konsep Desentralisasi
      Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.
       Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization).
      Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:
• Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hirarkinya.
• Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut.
• Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
     Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:
- Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement;
- SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;
- Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Belanja Pusat
Hubungan keuangan pusat dan daerah
Menurut Asep Nurjaman (Guruh, Syahda, LS : 85 : 2000) ada beberapa alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibangun, yaitu :
  1. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized)
  2. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system.
  3. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi di antara berbagai tingkat pemerintah, serta bagimana cara mencari sumber-sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya (Devas, 1989: 179).
Instrumen yang dipergunakan dalam perimbanhan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No. 25 Tahun 1999:
  1. Dana Perimbangan, yaitu
Dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
  1. Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu
Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
  1. Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu
Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
  1. Dana Bagi Hasil, yaitu Pembagian hasil penerimaan dari
    1. SDA dari, minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan
    2. Penerimaan perpajakan (tax sharring) dari pajak perseorangan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
  1. Pengaturan relasi keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang antara lain dilaksanakan melalui dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (PKPD) adalah
    1. Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak tertinggal di bidang pembangunan,
    2. Untuk mengintensifkan aktivitas dan kreativitas perekonomian masyarakat daerah yang berbasis pada potensi yang dimiliki setiap daerah. Pemda dan DPRD bertindak sebagai Fasilitator dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh rakyatnya. Artinya dalam era otda rakyat harus berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan derahnya,
    3. Mendukung terwujudnya goog governance oleh Pemda melalui perimbanhan keuangan secara transparan, dan
    4. Untuk menyelenggarakan otda secara demokratis, efektif, dan efisien dibutuhkan SDM yang profesional, memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan meningkatkan kemampuan daerah dalam membangun dan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah, bukan hanya sekedar pembagian dana, lalu terjadi “desentralisasi KKN” dari pusat ke daerah.
 Tujuan Hubungan Pusat Daerah
     Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian ini bagaimana agar antara potensi dan sumberdaya masing – masing daerah dapat sesuai. Hubungan keuangan pusat daerah mencerminkan tujuan politik yang mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam menentukan seluruh sistem pemerintahan. Hubungan ini harus serasi dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah.
     Namun inti masalahnya ialah bagaimana merumuskan peranan itu, karena setidak-tidaknya ada dua peranan yang dapat di mainkan pemerintah daerah. Dan kedua peranan ini mendapat dukungan walau lebih banyak bersifat dukungan dibibir saja dalam perdebatan mengenai hubungan keuangan pusat daerah di indonesia.
      Pandangan pertama menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah pada dasarnya bersifat politik, dalam arti pemerintahan daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk menyelenggarakan urusan setempat sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka.Peralatan keuangan yang dapat mendukung peranan semacam itu bagi pemerintah daerah mencakup : (1) pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak menghasilkan pemasukan dan untuk menentukan sendiri tarif pajak, (2) bagi hasil penerimaan pajak nasional antara pemerinthan pusat da pemerinthan daerah, (3) bantuan umum dari pemerintahan pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
      Pandangan kedua pemerintah daerah pada dasarnya adalah lembaga untuk menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah, dan sebagai alat yang tepat untuk menebus biaya memberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk daerah. Dari sudut ekonomi daya guna yang lebih besar dapat di raih bila kebijaksanaan dan penggunaan sumberdaya dapat disesuaikan pada keadaan dan kebutuhan setempat. Lagi pula, pajak daerah dan pungutan mungkin lebih adil ebagai sumber biaya untuk menyediakan layanan-layanan yang tidak memiliki dampak atas pihak luar atau pengaruh sampingan yang besar.
     Ada beberapa faktor yang mendorong sikap dan kebijaksanaan yang cenderung menutup-nutupi peranan otonomi dan politik pemerintah daerah dan menekankan tuntutan tangan pemerintah pusat, Pertama, kekhawatiran mengenai persatuan nasional, dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah. Kedua, masalah memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber daya antar daerah terutama antar pulau jawa yang dihuni bagian terbesar rakyat indonesia, dan daerah luar pulau jawa yang banyak menghasilkan penerimaan ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi negeri itu. Ketiga, pemerintah pusat ingin dan berpangkal pada pengalaman pahit sebelum tahun 1965 memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Akhirnya penerimaan dari minyak yang sangat penting dan otomatis masuk ke kantung pemerintah pusat dan memainkan peranan yang besar sebagai bagian dari pendapatan negara (54% dari anggaran negara 1984 - 1985).
     Karena faktor-faktor ini, kekuasaan cenderung terkumpul di pusat. Tetapi tekanan-tekanan yang menandingi kecenderungan ini juga ada. Umumnya disadari untuk memelihara kehidupan politik yang serasi, perlu ada pembagian kekuasaan, sampai batas tertentu.kesediaan untuk tunduk pada pemerintah pusat harus diimbangi dengan beberapa peluang bagi daerah untuk melakukan beberapa pilihan sendiri. Pertama Indonesia sangat luas dan ini melahirkan berbagai tanangan dibidang perhubungan, pengetahuan mengenaikeadaan setempatdan pengendalian yang berhasil guna. Kedua  ada hambatan budaya dan fisik terhadap pengendalian dari pusat dan terutama sifat tidak suka pertentangan, yang menghambat pelaksanaan instruksi dari pusat. Ketiga kebijaksanaan pemerintah pusat sering membutuhkan pula sumbangan sumberdaya daerah yang tidak selalu berbentuk uang.
Sistem Bantuan Kepada Daerah
Bagi hasil penerimaan
        Pemerintah daerah mendapat bagian dari penerimaan pemerintah pusat dari dua sumber:
(1)   Pajak Tanah dan Bangunan ,dengan pembagian sebagai berikut; pemerintah pusat 10%,propinsi 18%,Dati II 72%
(2)   Pungutan lisensi dan iuran pengusahaan hutan (HPH dan IHH);propinsi mendapat bagian 40%.
Bantuan  untuk Pengeluaran Rutin
      Di bawah mata anggaran Subsidi Daerah Otonom (SDO),diberikan berbagai bantuan untuk pengeluaran rutin:
(1).Bantuan (88% dari SDO) untuk belanja pegawai (tidak termasuk pembagian beras) yang bekerja untuk pemerintah daerah yang telah diangkat menjadi pegawai negri.belanja pegawai ini mencakup gaji,tunjangan jabatan,dan pensiun.Bantuan ini mencakup jumlah pegawai yang besar sekali,termasuk sebagian besar sekolah dasar,dan meliputi semua tingkat,dari pejabat tinggi sampai pegawai kecil,termasuk supir dan pesuruh.
(2).Bantuan blok (ganjaran) yang tidak besar,untuk propinsi dan Dati II untuk pengeluaran rutin :nilainya 4% dari SDO
(3).SPP- SDN (3% dari SDO),untuk menutup berbagai biaya menyelenggarakan pendidikan dasar sebelumnya dibiayai dari uang sekolah.Biaya ini mencakup belanja barang,upaya mendorong kegiatan olahraga dan tunjangan khusus untuk guru dan tenaga pengawas
(4). Bantuan lain-lain untuk belanja pegawai pemerintah daerah;untuk pegawai kecamatan, latihan pegawai,dan pengganti penerimaan dari kutipan sebesar Rp.1 per liter bahan bakar yang telah dihapuskan
Bantuan Inpres untuk Pengeluaran Pembangunan
     Bantuan blok untuk pembangunan ini diberikan pada propinsi,Dati II dan desa:
(1).Bantuan propinsi berupa sejumlah uang per propinsi dan diberikan sebesar berikut:Rp.12 milyar untuk masing-masing propinsi selebihnya,pada tahun 1986/87. Sebagian dari bantuan itu (bagian ditetapkan) harus digunakan untuk memperbaiki atau merawat ruas jalan tertentu dan saluran pengairan;selebihnya (bagian diarahkan) tidak dibatasi ketentuan apa-apa tetapi perlu persetujuan pemerintah pusat bila hendak digunakan.Bantuan pada propinsi tertentu juga meliputi dana pendamping untuk program pembangunan propinsi yang mendapat bantuan dana dari luar negri dan ditujukan untuk membangun perekonomian daerah-daerah miskin.
(2).Bantuan untuk Dati II diberikan per kepala (Rp1.250,- pada tahun 1986/87),dengan jumlah minimum Rp 170 juta per Dati II.Bantuan ini dimaksudkan untuk proyek-proyek padat karya dan sebagian terbesar dipakai untuk memperbaiki prasarana fisik. Jumlah bantuan diusulkan oleh Dati II,dan ini kemudian perlu persetujuan dan pemantauan oleh tingkat pemerintah lebih tinggi.
(3).Bantuan untuk desa,berupa satu jumlah per desa (Rp.350.000,- pada tahun 1986/87) dan diberikan atas usul desa untuk pembangunan,berbeda dengan Inpres Dati II,bantuan desa ditujukan untuk mendorong sumbangan tenaga kerja cuma-cuma.
Bantuan Inpres untuk Pembangunan Sektor Tertentu:
   Ada lima program semacam ini yang semuanya dilaksanakan oleh pemerintah Dati II:
(1).Inpres Sekolah Dasar,untuk membangun atau memperbaiki gedung sekolah,untuk belanja buku dan alat-alat.
(2).Inpres Kesehatan,untuk mebangun gedung pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan puskesmas pembantu,untuk proyek air minum dan kesehatan lingkungan di pedesaan,dan belanja obat-obatan di puskesmas.
(3).Inpres Jalan,untuk mebangun dan memperbaiki jalan,terutama di pedesaan di luar Jawa.
(4).Inpres penghijauan dan Reboisasi,untuk belanja kegiatan penghijauan dan membuat pematang jenjang di bukit-bukit yang termakan erosi
(5).Inpres Pasar,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun pasar
(6).Inpres Pertokoan,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun  

Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam era otonomi daerah ini, bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari dari:
o Desentralisasi;
o Dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan
o Pinjaman daerah.
Desentralisasi Fiskal
       Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
      Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah. Pada tahun anggaran 2000 (dengan periode 9 bulan), transfer berjumlah Rp34 trilyun dari total belanja Rp197 trilyun. Dengan kata lain, sekitar sekitar 17% belanja Pemerintah Pusat ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah. Jumlah itu meningkat tajam baik dalam nominal maupun persentase. Pada tahun anggaran 2002 ini, transfer dalam bentuk dana perimbangan direncanakan Rp 98 trilyun, atau sekitar 29% dari total belanja APBN. 
     Selain dalam bentuk Dana Perimbangan,Tahun Anggaran 2002 kepada daerah juga diberikan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp3.4 trilyun. Dana Otonomi Khusus sebesar Rp1.4 trilyun dialokasikan kepada Propinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp2 trilyun dialokasikan kepada Daerah untuk menambah perolehan DAU TA 2002 khususnya bagi daerah yang DAU-nya mengalami penurunan dari TA 2001.
     Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke Daerah melalui Dana Perimbangan telah menyebabkan berkurangnya porsi dana yang dikelola Pemerintah Pusat, sebaliknya porsi dana yang menjadi tanggung jawab Daerah melalui APBD meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga disertai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.
     Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
     Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
      Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
 Pendapatan Asli Daerah
      Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU 34/2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
      Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis merupakan pungutan yang baik.
      Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak (kecuali propinsi) dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
     Ditinjau dari kontribusi pajak Daerah dan retribusi Daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara Daerah dengan Pusat terjadi ketimpangan yang relatif besar. Hal ini tercermin dalam jumlah penerimaan pajak yang dipungut Daerah hanya sekitar 3,45% dari total penerimaan pajak (pajak Pusat dan Daerah). Demikian juga distribusi pajak antar Daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600 kali). Peranan pajak dalam pembiayaan Daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat.
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
      Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
      Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84 Tahun 2001.
       Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN).
      Pola sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja.
     Sementara itu, dengan berkembangnya keinginan beberapa Daerah untuk mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya diluar yang sudah dibagihasilkan sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, sebenarnya terdapat opsi/alternatif lain yang lebih baik dilihat dari sudut akuntabilitas Pemerintah Daerah. Opsi tersebut adalah “piggy backing” atau opsen atau penetapan tambahan atas pajak Pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh Pemerintah Daerah sendiri dan hasilnya juga diterima oleh Daerah yang bersangkutan. Opsen tersebut misalnya dapat diberlakukan atas Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi.
Dana Alokasi Umum  
    Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
     Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada.
     Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
     Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.
      Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula fiscal gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang.
      Dalam formula dan perhitungan DAU TA 2001 (berdasarkan PP Nomor 104/2000) telah dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Formulasi dan perhitungan DAU TA 2001 dianggap mengandung banyak kelemahan terutama menyangkut keadilan antar Daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses tersebut merupakan proses awal/tahun pertama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.
     Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi kepada Pemerintah dari Tim Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas terkemuka yang selama ini terlibat dalam kajian dibidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS).
      Formula DAU tersebut telah disetujui oleh DPOD dan telah ditetapkan dengan PP Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Dalam perhitungan DAU TA 2002 (Rp69,1 triliun) terdapat beberapa daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan dibandingkan dengan DAU TA 2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001 khususnya daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan tersebut.
    Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran DPR RI telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001 ditambah Dana              Kontinjensi 2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar Rp2.054,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU berdasarkan formula pemerintah.
     Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU Propinsi, dimana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU Propinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh Propinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Propinsi sebesar Rp6,91 triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk Propinsi sebesar Rp7,47 triliun.
      Alokasi DAU TA 2002 untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal 31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Dana Alokasi Khusus
     Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/
prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional.
       Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor : SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor : SE-522.4/947/5/BANGDA.
      Atas dasar Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku sebagai SKO untuk Kabupaten/Kota dalam wilayah 21 Propinsi penghasil.
       Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Selain dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block grant” atau transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih didominsasi oleh Pemerintah Pusat.
Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya. Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint venture” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Bentuk “joint venture” itu secara umum sama antara dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perbedaannya adalah pada rekan kerja Pemerintah Pusat
Dekonsentrasi
       Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah.
     Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang tersebut sebenarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian hari kegiatan menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak Pemerintah Pusat dan dipertanggungjawabkan melalui APBN.
     Dalam perkembangannya, hingga saat ini bentuk hubungan dekonsentrasi ini belum dapat benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis masih melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT yang ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara dua hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen teknis untuk menyerahkan wewenang itu.
Pinjaman Daerah
      Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber pinjaman bisa berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung.
Penggunaan :
1.Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset Daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman.
2’Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.
    Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan permasalahan yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, mengingat hal-hal berikut :
1.Sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya belum diatur secara jelas;
2.Sebagian proyek-proyek pinjaman sedang berjalan (on-going);
3.Mekanisme untuk repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman, bunga dan resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum diatur secara rinci;
4.Jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas;
5.Akuntabilitas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas.
Guna penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut:
6.Merumuskan kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan
7.Menyusun “mapping” kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman.
     Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan pembahasan dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan mengenai on-lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mendapat penetapan.
Pengelolaan Keuangan Daerah
     Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari UU 22/1999 dan UU 25/1999 bukan sekedar keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas harus acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah pada khususnya.
    Sebagai penjabaran dari UU 25/1999 dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, pemerintah mengeluarkan PP 105/2000 yang antara lain menjelaskan:
1.APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana Pemda;
2.Struktur APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan;
3.Kepala Daerah menyusun laporan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
Untuk memudahkan derah melaksanakan amanat PP 105/2000 dimaksud, saat ini sedang dilakukan penyusunan pedoman pengelolaan keuangan daerah. Pedoman-pedoman tersebut meliputi :
4.Standar Akuntansi Pemerintah (untuk Pusat dan Daerah), saat ini sedang disiapkan perangkat hukum kelembagaannya yaitu Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik, yang anggotanya terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Pemda, Perguruan Tinggi, dan IAI.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini,masih perlu peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.









DAFTAR PUSTAKA

Monday 8 June 2015

PERKEMBANGAN ISLAM DAN RESPON PEMERINTAH DIBIDANG SOSIAL BUDAYA DI SINGAPURAA



KATA PENGANTAR

السلام عليكم ور حمة الله و بر كا ته


Bismillahirrahmanirrahin.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia beserta isinya. Tiada Tuhan selain Allah temapat kita mencurahkan segalanya. Allah tiadak pernah membedakan umatnya hanya karena fisiknya, kepandaiannya, kelebihannya, tapi Allah membedakkan umatnya berdasarkan ketaqwaan yang dimiliki umatnya. Allah adalah satu-satunya yang kita sembah. Dia-lah Zat yang kita sembah,tempat kita meminta pertolongan dan ampunannya-Nya. Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita,Nabi Muhammad SAW yang merupakan suri teladan. Berkat Nabi-lah kita dapat merasakan dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan samapai saat ini. 
            Alhamdulillah kami ucapkan, karena masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu untuk  menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan di dalam makalah. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Wassalamualaikum wr.wb


                                                                                    Pekanbaru,18 Mei 2015



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I         PENDAHULUAN.......................................................................... 1
                    A.LATAR BELAKANG................................................................ 1
                    B.RUMUSAN MASALAH............................................................ 1
                    C.TUJUAN...................................................................................... 2

BAB II       PEMBAHASAN............................................................................. 3
                    A.PERKEMBANGAN ISLAMDISINGAPURA......................... 3
                    B.SOSIAL BUDAYA ISLAM DISINGAPURA......................... 6
                    C. RESPON PEMERINTAH DIBIDANG SOSIAL BUDAYA         8

BAB III      PENUTUP....................................................................................... 14
                    A.KESIMPULAN........................................................................... 14
                    B.SARAN....................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin hari makin pesat yang tujuannya untuk memudahkan manusia dalam segala hal, seiring itu pula ilmu pengetahuan agama dan sejarah agama. Sejarah sangat penting bagi kehidupan manusia, selain sebagai pengalaman masa lalu juga sebagai sebagai pengalaman untuk bertindak di kehidupan selanjutnya. Kita tidak bisa baik hari ini jika tidak ada masa lalu atau  sejarah, begitu besar arti sejarah dalam diri manusia. Tidak banyak orang tau tentang perkembangan islam di asia tenggara khususnya  di Negara Singapura, sebetulnya telah banyak para ahli menuliskan dan  mempelajarinya tapi itu hanya sebagian kecil, jangan sejarah islam di bangsa atau Negara lain, perkembangan islam di Negara sendiripun kadang banyak dari sebagian kita  kurang mengetahuinya, bagi mereka yang penting bukanlah sejarah, tapi ilmu pengetahuan mereka yang sedikit.
            Dengan mengetahui sejarah perkembangan islam di asia tenggara, mendorong munculnya wawasan sejarah yang luas, di mulai sejarah perkembangan islam di kota-kota kecil sampai perkembangan islam ke kota-kota besar yang cukup membawa pengaruh bagi Negara-nagara lain yang menerima islam dengan kehendak mereka sendiri.
Yang semuanya itu perlu di tinjau dan di lihat kembali buku-buku sejarah yang mungkin dapat membantu sumber-sumber data yang di perlukan untuk tercapainya sebuah sejarah yang rinci. Perkembangan dan masuknya islam di Singapura merupakan topik yang baik dan hangat untuk di ungkapkan dan di pelajari.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dengan masuknya islam di singapura dengan berbagai cara dan perkembangannya, telah membawa perkembangan besar dan berarti bagi singapura dan orang-orang yang ada dan berdiam di sana pada masa itu. Mengingat pembahasan dan kajian ini cukup luas, maka pemakalah mempunyai batasan dalam pembahasan ini, yaitu:
1.      Bagaimana perkembangan islam di Singapura?
2.      Bagaimana respon pemerintah dibidang sosial budaya?

C.     TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memperluas pengetahuan tentang islam di Singapura bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca yang lainnya.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan islam di Singapura
Sebagai Negara yang berdiri setelah perang dunia II singapura meurpakan Negara paling Maju di kawasan Asia Tenggara. Singapura memiliki Ekonomi atau Perekonomian Pasar yang sangat maju, yang secara historis berputar di sekitar perdagangan Interpot bersama Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan, Singapura adalah satu dari Macan Asia. Namun demikian ditengah kemajuan Singapura sebagai sebuah negara yang menjadi sentral perdaganagan Asia Tenggara dan memiliki perjalanan panjang mengenai perjumpaan dengan Islam. Singapura merupakan negara yang memiliki penduduk Muslim yang Minoritas. Dengan jumlah penduduk sekitar 4,99 Juta jiwa hanya sekitar 14.9 % saja yang memeluk agama Islam. Dan menjadi agama kedua terbesar setelah Buddha 42,9% di ikuti oleh Ateis 14.8 %, Kristen 14.6%, Taouisme 8% dan Hinddu 4% serta agama lainnya 0.6%.[1]
Wajah Islam di Singapura tidak jauh beda dari wajah muslim di negeri jirannya, Malaysia. Banyak kesamaan, baik dalam praktek ibadah maupun dalam kultur kehidupan sehari-hari. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh sisa warisan Malaysia, ketika Negara kecil itu resmi pisah dari induknya, Malaysia, pada tahun 1965.
Hal ini jika di urut melalui sejarahnya, keberadaan Islam di Singapura tak lepas dari keberdaan Etnis Melayu yang mendiami pulau tersebut. Ditambah dengan golongan lain yang dikatagorikan sebagai Migran Muslim. Mereka inilah, terutama migran Arab, sebagai penyandang dana utama dalam pembangunan masjid masjid, lembaga lembaga pendidikan dan organisasi-organisasi Islam.[2]
Sejak pertengahan abad ke-19, ketika Belanda melakukan tindakan represif dan pembatasan atas calon haji Indonesia, Singapura menjadi alternatif mereka sebagai tempat pemberangkatan. Broker-broker perjalan ibadah haji ini adalah kalangan migran Arab. Berbeda dengan Muslim imigran, masyarakat Melayu merupakan mayoritas. Mengikuti pembagian Sharon Siddique, mungkin karena mayoritas migran yang berasal dari dalam wilayah (Jawa, Sumatera, Riau dan Sulawesi).
Cenderung membawa isteri dan anak mereka. Dengan demikian rasioseks (khususnya pada komponen mayoritas yang berbahasa Melayu) lebih seimbang dibanding komunitas-komunitas lain. Kenyataan yang demikian berakibat pada kelambatan terjadinya asimilasi kemelayuan. Kelompok migran biasanya mendiami kampung-kampung yang ditata berdasarkan tempat asal. Dan ini berakibat pada menguatnya bahasa-bahasa etnis dan adat istiadat. Dengan demikian, karena heteroginitas penduduk Muslim Singapura, orang bukan mendapatkan suatu komunitas Muslim, namum sejumlah komunitas Muslim. Hal ini diperkuat dari dalam dengan pelestarian batas-batas linguistik, tempat tinggal yang berorientasi tempat asal, spesialisasi pekerjaan, status ekonomi dan berbagai tingkat pendidikan.
Bersamaan dengan itu, gejala yang terjadi pada migran luar wilayah (Arab dan India) memiliki kecenderungan terbalik. Migrasi yang mereka lakukan hampir secara eksklusif hanya dilakukan oleh kaum pria. Dengan mengawini wanita Muslim Melayu, berarti mereka membangun keluarga keluarga baru di Singapura. Hal ini selanjutnya memberikan definisi komunitas baru Arab dan Muslim India yang melalui garis patrilineal memberi identitas pada diri mereka sendiri, namun menurut garis matrilineal adalah keturunan pribumi. Proses ini melahirkan suatu komunitas Arab Melayu dan Jawa Peranakan yang mulai mengidentifikasi diri dengan bahasa Melayu dan dengan adat istiadat serta kebiasaan lokal.[3]
Dalam perjalanan sejarahnya, singapura pernah menjadi salah satu pusat islam paling penting di asia tenggara, hal ini dilihat dari keunggulanya sebagai pintu masuk bagi para pedagang dari berbagai benua maupun Negara asing atau disebut dengan pusat perdagangan internasional. Selain sebagai pusat perdagangan, Negara ini sangat stategis bagi pusat informasi dan dakwah islami atau islamisasi kualitatif maupun kuntitatif, baik pada masa kesultanan malaka maupun sampai sekarang.
Singapura menjadi sebuah Negara Republik yang merdeka setelah melepaskan diri dari Malaysia. Saat ini, Singapura merupakan Negara paling maju diantara negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, Islam relative tidak berkembang di negara ini, baik bila dibandingkan dengan sejarah masa lalunya, maupun bila dibandingkan dengan perkembangan Islam di negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun 1940-1950 orang islam boleh kawin dan bercerai dengan mudah melalui beberapa kodi yang bergerak dari satu tepat ke tempat yang lain. Ketidak teraturan ini di pergunakan dengan salah guna. Ada kodi yang kurang teliti dalam segi taraf perkawinan dengan hasrat wali mereka yang sah. Perceraian juga diperbolehkan dengan senang.[4]
Dalam hal ini imam-imam atau guru-guru sangat berpengaruh terutama dalam praktek agama, realitas upacara-upacara sosial ke agamaan dengan berbagai macam negara yang datang  ke Singapura membawa banyak agama dan kepercayaan.[5]
Namun pemerintah dalam hal ini bersifat netral , untuk meyakinkan kaum muslimin bahwa pemerintah memegang prinsip kebebasan dalam beragama dan melindungi keyakinan mereka, maka MUIS (Majelis Ulama Islam Singapura ) didirikan di bawah perundang-undangan dan ketentuan AMLA (Administration Of  Muslim Law Act OF 1966 ). MUIS bertanggung jawab dalam mengatur administrasi hukum islam di Singapura, termasuk mengumpulkan zakat mall, pengaturan perjanjian haji, setipikasi halal, aktifitas dakwah, mengorganisasi sekolah-sekolah agama, mengorganisasi pembangunan mesjid dan manajerialnya, pemberian bantuan beasiswa pelajar muslim, bertugas mengeluarkan patwa agama. KETA dan MUIS di angkat dan di berhentikan oleh Presiden, melalui usulan dari kelompok muslim.[6]
Dalam bidang pendidikan singapura menganut  sistem pendidikan islam moderen dari awal hingga sekarang merujuk pada system mesir dan barat sepeti madrasah, sekolah arab atau sekolah agama, tetapi tidak mengenal pondok pesantren. Ada 4 madrasah terbesar di singapura yaitu:
  1. Madrasah Aljunied, didirikan pada tahun 1927 M, oleh pangeran Syarif         al-Syaid Umar bin Ali Aljuneid dari palembang.
  2. Madrasah Al-Ma’arif, didirikan pada tahun 1940-an gurunya dari  lulusan AL-Azhar Mesir.
  3. Madrasah Wak Tajung AL- Islamiyah , didirikan tahun 1955 M.
  4. Madrasah AL-Sagoff, didirikan pada tahun 1912 di atas tanah wakaf Syed Muhammad bin Syed  al- Sagoff.[7]

  1. Sosial budaya islam di Singapura
Sebuah tesis Phd oleh Betts, seorang ahli sains politik Amerika, mengklaim bahwa masyarakat melayu gagal untuk merubah dirinya sebelum tahun 1959. Ia menuliskan bahwa banyak perkara tentang cara hidup orang melayu diakui umumnya tidak selaras dengan keadaan dan kemajuan yang pesat di Singapura. Disisi lain, faktor-faktor intrinsik dalam masyarakat Melayu menghalangi penerimaan ataupun internalisasi secara pesat akan perubahan. Dia menganggap bahwa kampung-kampung dipinggiran Singapura pada hakikatnya bersifat perdesaan.  Faktanya Banyak orang melayu yang merasa puas hanya dengan bermata pencarian menangkap ikan, bertani, dan aktivitas lain yang bercorak tradisional tanpa mempedulikan perkembangan zaman.[8]
Hal senada juga diungkapkan oleh Badlington dalam desertasinya (1974) bahwa masyarakat Melayu belum dapat merubah dirinya sebelum tahun 1959. Masyarakat melayu selalu dihalangi oleh kekangan-kekangan budaya yang mendefinisikan menurut garis etnis. Orang bukan Melayu telah berjaya memutuskan diri sama sekali dari pada kokongan tradisi yang menghalang pembangunan ekonomi, akan tetapi masyarakat Melayu terus terpengaruh oleh gerak budaya yang bertentangan. Badlington juga menjelaskan bahwa pandangan orang Melayu tentang rezeki mengakibatkan fatalisme (menyerah pada takdir) dan tidak ada usaha untuk meraihnya.
Bagi Badlington, kaum-kaum lain di Singapura telah berubah sedangkan orang melayu tinggal beku dan tinggal sejarah, dikekang oleh nilai-nilai budaya mereka. Nilai-nilai yang dibincangkan oleh Badlington terdiri hanya dari pada yang dianggapnya sebagai negative bagi kemajuan orang Melayu. Nilai-nilai ini digambarkan sebagai cirri-ciri budaya yang kekal dan diretifikasi secara abstrak dari pada konteks sosial dan materialnya.
Menanggapi isi dari pada desertasi Badlington, yang secara umum memarginalkan kertepurukan ekonomi orang Melayu dilator belakangi oleh adanya budaya yang kaku dan katalis yang nota bene bersumber dari syariat Islam berupa Al-Qur’an dan Hadist, perlu disanggah keabsahannya. Justru sebenarnya penjelasan-penjelasan kemunduran Melayu bukan semata-mata berasal dari sumber budaya Melayu yang juga melibatkan tafsiran Al-Qur’an. Akan tetapi juga berasal dari diskriminasi dan perbedaan kesempatan yang diberikan kepada orang Melayu dan etnis Cina pada awal 1970-an.
Memang harus diakui bahwa mundurnya sosial budaya orang Melayu dan minimnya semangat untuk bekerja, khususnya menyoroti kaum wanitanya disebabkan masih dangkalnya pemikiran dan interfretasi umat dalam memahami syariat. Khususnya tafsiran yang salah kaprah terhadap Islam, dimana pada masa ini banyak sikap pasif terhadap agama yang dilihat orang Melayu sebagai menjamin masa depan tanpa perlu berusaha, cukup menyerah pada takdir dan usaha untuk mengembangkan karir hidupnya, hanya dengan mencukupi biaya hidup dalam jangka pendek.
Namun disisi lain, pada kenyataannya, banyak surat kabar di Singapura yang sengaja menggemborkan keterpurukan ekonomi dan social budaya Melayu identik dengan perdesaan. Publikasi yang diedarkan oleh berbagai surat kabar seperti The Miror dan Akhbar Kebangsaan dalam terbitan utamanyamenegaskan bahwa Melayu kedesaan sifatnya. Isu-isu negatif dari surat kabar ini, akhirnya dibantah oleh sebuah penerbitan khas keluaran Majelis Hal-Ehwal Islam yang menandaskan bahwa kenyataannya orang-orang melayu banyak yang memiliki propesi tinggi di perkotaan, bukan hanya sebatas nelayan, tukan kebun dan pekerjaan-pekerjaan perdesaan lainnya.
Bila diteliti pula  tentang budaya Melayu yang ingin menjalin antara etnis, biasanya perkawinan yang dianggap paling selaras adalah pekawinan antara dua komponen yang berbeda suku namun masih dalam satu agama. Perkawinan semacam ini dianggap selaras atau sekupu, karena antara dua belah pihak masih memiliki satu visi dan misi, seiman dan seagama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

  1. Respon pemerintah dibidang sosial budaya
Kebijakan pengembangan ekonomi kreatif di Singapura berpijak pada dua sumber, yaitu kajian Advisory Council on Culture and the Arts (ACCA, 1989) dan Renaissance City Plans (RCP, 2000). Berdasarkan dua kajian ini, kebijakan pengembangan ekonomi kreatif di Singapura diintegrasikan dengan proses penyusunan kebijakan publik, perencanaan tata kota/kewilayahan, serta pembentukan beberapa lembaga beserta program turunannya. Dalam kajian RCP, sektor seni dan budaya disebut sebagai aspek yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi Singapura secara keseluruhan.
Selain itu, beberapa hal yang terkait dengan kajian RCP adalah aspek daya kompetisi dan kelayakan hidup, selain juga aspek inovasi dan kreativitas. Beberapa aspek ini disebut dapat meningkatkan kemampuan masyarakat Singapura untuk menciptakan konten orisinil, mengembangkan kemampuan yang berskala industri, serta keterlibatan yang menjangkau komunitas masyarakat secara luas. Sejak pertama kali dicanangkan pada tahun 2000, implementasi RCP tahap ke tiga mulai dilaksanakan pada 2008 dan didukung dengan dana investasi sebesar USD 23.25 juta.
Pada tahapan ini beberapa aspek yang menjadi perhatian utama adalah sebagai berikut:
  1. Pengembangan konten budaya yang berfokus pada Singapura dan wilayah Asia, beserta pengembangan dan penyebaran karya di panggung dunia.
  2. Pengembangan ekosistem seni dan budaya secara total, termasuk sektor bisnis dan profesi yang menangani aspek teknis sehingga dapat mendukung para pencipta konten seni dan budaya.
  3. Menyokong perluasan keterlibatan masyarakat dan sektor privat di bidang seni dan budaya.
Saat ini sektor seni dan budaya di Singapura telah berkembang pesat, dengan rata-rata 80 kegiatan setiap hari. Masyarakat Singapura secara perlahan mulai melihat kegiatan seni dan budaya sebagai bagian yang vital bagi kehidupan mereka. Sebagai perbandingan, sekurangnya 2 dari 5 orang menghadiri kegiatan seni dan budaya pada tahun 2009,  pada tahun 1999 perbandingannya sekitar 1 dari 7 orang. Peningkatan ini disokong oleh berbagai kegiatan semisal festival, konser musik ataupun kegiatan lain yang berskala lokal, regional sampai dengan internasional. Selain fasilitas infrastruktur yang memadai, perkembangan ini juga ditunjang dengan dukungan promosi yang maksimal.
Untuk meningkatkan reputasi secara Internasional, pemerintah Singapura juga memberi dukungan kepada para seniman untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di luar negeri. Lembaga yang secara khusus memberi dukungan kepada seniman Singapura salah satu contohnya adalah National Arts Council (NAC). Dukungan diberikan agar karya para seniman Singapura dapat tampil di berbagai kegiatan yang memiliki reputasi internasional, semisal Venice Biennale (Italia), Ars Electronica (Austria), Documenta XI (Jerman), dsb. Bersamaan dengan upaya ini, pemerintah Singapura juga mendorong penyelenggaraan kegiatan internasional di dalam negeri. Salah satunya adalah peresmian program konferensi seni pertunjukan global LIVE! Singapura yang diselengarakan pada 2010 di Resorts World Sentosa, ataupun kegiatan Singapore Biennale yang mulai diselenggarakan pada 2006.
Untuk mendorong pelibatan masyarakat, pemerintah Singapura juga ikut menyokong berbagai kegiatan filantropi. Sebagai contoh, para patron dan simpatisan pelestarian warisan budaya (heritage) di Singapura dikenal sebagai sosok yang ikut terlibat dalam memberikan dukungan. Pada ajang Patron of Heritage Awards 2009 terkumpul sekira SGD 11 juta dalam bentuk sumbangan dan pinjaman untuk menyokong program presevasi dan perawatan peninggalan budaya di Singapura yang melibatkan para seniman dan budayawan. Contoh lain adalah dukungan bagi penyelenggaraan pameran seniman muda Singapura di Singapore Art Museum (SAM) yang mendapatkan dukungan dari Credit Suisse AG pada 2009.
Upaya yang juga menonjol dalam proses pengembangan potensi ekonomi kreatif di Singapura adalah keberadaan istitusi pendidikan. Salah satunya adalah keberadaan School of the Arts (SOTA) yang menawarkan paket pendidikan 6 tahun. Paket pendidikan ini mengintegrasikan kegiatan seni dengan program pendidikan yang fokus pada proses eksperimentasi, ekspresi, keterlibatan, serta inovasi multidisiplin yang memberi penekanan pada nilai keterbukaan dalam lingkungan belajar lintas budaya. Untuk menyokong upaya ini, berbagai lembaga pendidikan di sektor seni, budaya dan teknologi yang berkembang di Singapura juga mendatangkan pengajar internasional dari negara-negara maju. Selain itu, akses pendidikan juga terus ditingkatkan dengan mengembangkan perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Lembaga strategis yang diserahi peran dalam mengembangkan potensi di sektor seni dan budaya Singapura adalah Ministry of Information, Communications and the Arts (MICA). Kementerian ini mengintegrasikan kebijakan yang berorientasi pada pengembangan infrastruktur telekomunikasi serta akses terhadap pengetahuan dan teknologi media. MICA memandang sektor seni dan budaya sebagai landasan yang penting bagi pengembangan kreativitas dan peninggalan budaya. Lembaga ini juga menyokong sumber-sumber yang dapat menjadi inspirasi artistik dan stimulasi intelektual, selain pengembangan sumber daya di sektor ekonomi kreatif, serta upaya peningkatan daya tarik Singapura sebagai tempat tinggal, bekerja, bermain dan belajar.
Dalam rangkaian upaya ini, MICA meluncurkan Arts and Culture Strategic Review (ACSR) yang memproyeksikan pembangunan kebudayaan Singapura sampai tahun 2025. Kajian ini disusun pada 2010 dan dikembangkan oleh steering committee yang terdiri dari perwakilan masyarakat, sektor privat, dan praktisi. Tugas dari forum ini adalah melakukan kajian, mendorong ketelibatan sektor publik dan privat, serta melakukan promosi dan keberlanjutan pengembangan di sektor terkait.
Beberapa komponen yang dikembangkan berdasar kajian ACSR adalah sebagai berikut:
  1. Product:  fokus pada kinerja maksimal bagi lembaga dan penciptaan karya terbaik.
  2. People: mendorong pembentukan komunitas warga dan masyarakat yang memiliki apresiasi serta para praktisi yang dapat mendukung pengembangan sumber daya kreatif, semisal para seniman yang memiliki skill dan kompetensi, para pekerja profesional, ataupun talenta kreatif yang memiliki kualitas ‘bintang’.
  3. Place: pengembangan wilayah, tempat, ataupun destinasi yang memiliki identitas yang otentik, mudah diakses, serta mampu meninggalkan kesan yang mendalam.
  4. Participation and Partnership: pembentukan komunitas masyarakat yang memiliki kohesi, akal budi, dan kreatif; agar memiliki rasa kepemilikan terhadap upaya pengembangan sektor sni dan budaya.
Berdasarkan kebijakan dan strategi yang dikembangkan, pemerintah Singapura tampaknya sangat serius untuk mengembangkan industri kreatif, dimulai dari membentuk Ministry of Information and the Arts (MITA) yang kemudian menjadi Ministry of Information Art and Communication (MICA). Kebijakan inti yang dikembangkan untuk menyokong upaya ini adalah strategi Renaissance City 2.0, Media 21, dan Design Singapore. Melalui strategi ini, beberapa sektor industri yang dikenali sebagai emerging industries mendapatkan perhatian dalam bentuk dukungan fasilitas dan anggaran khusus.
Sejak kebijakan ini dikembangkan, value-added (VA) industri media di Singapura tumbuh dengan nilai sekitar S$ 5.5 milyar dan mendatangkan pendapatan hingga sekitar S$ 22.4 milyar. Sektor ini mempekerjakan lebih kurang 58 ribu orang dan terdiri dari beberapa sektor industri terkait, termasuk produksi dan penyiaran TV, percetakan dan penerbitan, film, musik, juga media interaktif dan digital. Media interaktif dan digital yang dikembangkan mencakup video games, animasi, media online/mobile, atau hiburan dalam bentuk baru. Pada perkembangannya, industri animasi dan games (termasuk media online/mobile) mengalami peningkatan sekitar 22% dari tahun 2005-2009. Pada tahun 2009 sektor ini memberi kontribusi sekitar S$ 867 juta dalam VA, menyokong pendapatan sekitar S$ 1.5 milyar, serta mempekerjakan sekitar 7.400 orang.
Model pembiayaan terhadap industri kreatif di Singapura adalah sebagai berikut:
  1. Pemerintah membiayai pelaku yang mengembangkan industri kreatif yang sejalan dengan visi Singapura. Mereka dibiayai antara 30%-70% dari proposal yang diajukan.
  2. Dana tersebut baik berupa hibah maupun pinjaman (perbankan/venture capital).
  3. Pemerintah membuat venture capital atau memberikan kemudahan kepada swasta yang mendirikan venture capital.
  4. Kerjasama pelaku dengan venture capital minimal 2 tahun maksimal 5 tahun. Kerjasama ini tergantung pada jenis usaha. Jika menggunakan teknologi tinggi, kerjasama dapat dikembangkan selama 5 tahun.
  5. Pembagian keuntungan dibagi proporsional sesuai dengan nilai investasinya.
  6. Jika berupa pinjaman, bunga yang diterapkan berkisar 4% – 5% tahun.
  7. Diberikan keringanan pajak hingga tidak perlu membayar pajak perusahaan bagi perusahaan yang baru selama 2 tahun.














BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Islam relative tidak berkembang di negara ini, baik bila dibandingkan dengan sejarah masa lalunya, maupun bila dibandingkan dengan perkembangan Islam di negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan sosial budaya islam disingapura sangat tidak mendapatkan respon pemerintah karena banyak surat kabar di Singapura yang sengaja menggemborkan keterpurukan ekonomi dan social budaya Melayu identik dengan perdesaan. Berbeda dengan sosial budaya yang digunakan untuk mengembangkan ekonomi singapura. Pemerintah sangat mendukung dalam hal tersebut bahkan pemerintah ikut serta membiayai dan mendukung penuh.

  1. Saran
Didalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu dihimbau untuk para pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penulis dapat memperbaiki tulisannya.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES,1988      
Abd. Ghopur, Handout Mata Kuliah Study Islam Asia Tenggara
Asmal May dan Aripudin,  Handoud Mata Kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara
Munzir Hitami, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2006)
Suhaimi, M.Ag, Sejarah Islam Asia Tenggara, Unri Press, Cetakan Kedua, 2010,
Suhaimi, Cahaya Islam Di Ufuk Asia Tenggara, Pekanbaaru, Suska Perss UIN Suska Riau, 2008 
Taufiq abdullah(Ed.), Islam Di-Indonesia, Tinta Mas Jakarta, 1974
http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, 15/05/2015,13:34 WIB.
http://www.idcewatch.com/dukungan-kebijakan-ekonomi-kreatif/






[1] Munzir Hitami, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2006), hlm. 32.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, 15/05/2015,13:34 WIB.
[3] Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara.  Terj. Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES,1988.hlm. 390
[4] Suhaimi, Cahaya Islam Di Ufuk Asia Tenggara, Pekanbaaru, Suska Perss UIN Suska Riau, 2008, hlm 172
[5] Asmal May dan M. Arifuddin, op. cit, hlm 117
[6] Abd. Ghopur, op. cit, hlm 34
[7] ibit

[8] http://ar-sembilan.blogspot.com/2013/11/sosial-budaya-islam-di-asia-tenggara.html