Translate

Monday 15 June 2015

KEUANGAN NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di indonesia mencerminkan ketegangan–ketegangan antara pandangan yang mendukung pembagian kekuasaan dan antara pandangan yang menekankan segi fungsi pemerintah daerah dan pandangan yang menekankan segi peranan politik pemerintah daerah. Di pihak lain, pemerintah pusat cenderung menggunakan peralatan keuangan yang memungkinkannya dapat terus mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah. Kecuali peranannya yang cukup besar dalam usaha menambah tenaga kerja di kantor pajak pemerintah daerah, pemerintah pusat boleh dikatakan tidak ada mengambil langkah-langkah untuk mendorong pemerintah daerah untuk mengerahkan sendiri sumber penerimaannya, campur tangannya sebagian besar justru mengurangi atau menghapuskan pajak daerah,pajak ekspor yang diserahkan pada provinsi dihapuskan oleh pemerintah orde baru, meski alasannya cukup kuat dan diganti dengan bantuan blok untuk pembangunan yang di hitung dan diarahkan oleh pemerintah pusat.
1.2. RUMUSAN MASALAH

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian dan Konsep Desentralisasi
      Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.
       Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization).
      Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:
• Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hirarkinya.
• Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut.
• Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
     Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:
- Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement;
- SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;
- Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Belanja Pusat
Hubungan keuangan pusat dan daerah
Menurut Asep Nurjaman (Guruh, Syahda, LS : 85 : 2000) ada beberapa alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibangun, yaitu :
  1. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized)
  2. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system.
  3. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi di antara berbagai tingkat pemerintah, serta bagimana cara mencari sumber-sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya (Devas, 1989: 179).
Instrumen yang dipergunakan dalam perimbanhan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No. 25 Tahun 1999:
  1. Dana Perimbangan, yaitu
Dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
  1. Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu
Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
  1. Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu
Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
  1. Dana Bagi Hasil, yaitu Pembagian hasil penerimaan dari
    1. SDA dari, minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan
    2. Penerimaan perpajakan (tax sharring) dari pajak perseorangan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
  1. Pengaturan relasi keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang antara lain dilaksanakan melalui dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (PKPD) adalah
    1. Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak tertinggal di bidang pembangunan,
    2. Untuk mengintensifkan aktivitas dan kreativitas perekonomian masyarakat daerah yang berbasis pada potensi yang dimiliki setiap daerah. Pemda dan DPRD bertindak sebagai Fasilitator dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh rakyatnya. Artinya dalam era otda rakyat harus berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan derahnya,
    3. Mendukung terwujudnya goog governance oleh Pemda melalui perimbanhan keuangan secara transparan, dan
    4. Untuk menyelenggarakan otda secara demokratis, efektif, dan efisien dibutuhkan SDM yang profesional, memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan meningkatkan kemampuan daerah dalam membangun dan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah, bukan hanya sekedar pembagian dana, lalu terjadi “desentralisasi KKN” dari pusat ke daerah.
 Tujuan Hubungan Pusat Daerah
     Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian ini bagaimana agar antara potensi dan sumberdaya masing – masing daerah dapat sesuai. Hubungan keuangan pusat daerah mencerminkan tujuan politik yang mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam menentukan seluruh sistem pemerintahan. Hubungan ini harus serasi dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah.
     Namun inti masalahnya ialah bagaimana merumuskan peranan itu, karena setidak-tidaknya ada dua peranan yang dapat di mainkan pemerintah daerah. Dan kedua peranan ini mendapat dukungan walau lebih banyak bersifat dukungan dibibir saja dalam perdebatan mengenai hubungan keuangan pusat daerah di indonesia.
      Pandangan pertama menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah pada dasarnya bersifat politik, dalam arti pemerintahan daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk menyelenggarakan urusan setempat sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka.Peralatan keuangan yang dapat mendukung peranan semacam itu bagi pemerintah daerah mencakup : (1) pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak menghasilkan pemasukan dan untuk menentukan sendiri tarif pajak, (2) bagi hasil penerimaan pajak nasional antara pemerinthan pusat da pemerinthan daerah, (3) bantuan umum dari pemerintahan pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
      Pandangan kedua pemerintah daerah pada dasarnya adalah lembaga untuk menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah, dan sebagai alat yang tepat untuk menebus biaya memberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk daerah. Dari sudut ekonomi daya guna yang lebih besar dapat di raih bila kebijaksanaan dan penggunaan sumberdaya dapat disesuaikan pada keadaan dan kebutuhan setempat. Lagi pula, pajak daerah dan pungutan mungkin lebih adil ebagai sumber biaya untuk menyediakan layanan-layanan yang tidak memiliki dampak atas pihak luar atau pengaruh sampingan yang besar.
     Ada beberapa faktor yang mendorong sikap dan kebijaksanaan yang cenderung menutup-nutupi peranan otonomi dan politik pemerintah daerah dan menekankan tuntutan tangan pemerintah pusat, Pertama, kekhawatiran mengenai persatuan nasional, dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah. Kedua, masalah memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber daya antar daerah terutama antar pulau jawa yang dihuni bagian terbesar rakyat indonesia, dan daerah luar pulau jawa yang banyak menghasilkan penerimaan ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi negeri itu. Ketiga, pemerintah pusat ingin dan berpangkal pada pengalaman pahit sebelum tahun 1965 memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Akhirnya penerimaan dari minyak yang sangat penting dan otomatis masuk ke kantung pemerintah pusat dan memainkan peranan yang besar sebagai bagian dari pendapatan negara (54% dari anggaran negara 1984 - 1985).
     Karena faktor-faktor ini, kekuasaan cenderung terkumpul di pusat. Tetapi tekanan-tekanan yang menandingi kecenderungan ini juga ada. Umumnya disadari untuk memelihara kehidupan politik yang serasi, perlu ada pembagian kekuasaan, sampai batas tertentu.kesediaan untuk tunduk pada pemerintah pusat harus diimbangi dengan beberapa peluang bagi daerah untuk melakukan beberapa pilihan sendiri. Pertama Indonesia sangat luas dan ini melahirkan berbagai tanangan dibidang perhubungan, pengetahuan mengenaikeadaan setempatdan pengendalian yang berhasil guna. Kedua  ada hambatan budaya dan fisik terhadap pengendalian dari pusat dan terutama sifat tidak suka pertentangan, yang menghambat pelaksanaan instruksi dari pusat. Ketiga kebijaksanaan pemerintah pusat sering membutuhkan pula sumbangan sumberdaya daerah yang tidak selalu berbentuk uang.
Sistem Bantuan Kepada Daerah
Bagi hasil penerimaan
        Pemerintah daerah mendapat bagian dari penerimaan pemerintah pusat dari dua sumber:
(1)   Pajak Tanah dan Bangunan ,dengan pembagian sebagai berikut; pemerintah pusat 10%,propinsi 18%,Dati II 72%
(2)   Pungutan lisensi dan iuran pengusahaan hutan (HPH dan IHH);propinsi mendapat bagian 40%.
Bantuan  untuk Pengeluaran Rutin
      Di bawah mata anggaran Subsidi Daerah Otonom (SDO),diberikan berbagai bantuan untuk pengeluaran rutin:
(1).Bantuan (88% dari SDO) untuk belanja pegawai (tidak termasuk pembagian beras) yang bekerja untuk pemerintah daerah yang telah diangkat menjadi pegawai negri.belanja pegawai ini mencakup gaji,tunjangan jabatan,dan pensiun.Bantuan ini mencakup jumlah pegawai yang besar sekali,termasuk sebagian besar sekolah dasar,dan meliputi semua tingkat,dari pejabat tinggi sampai pegawai kecil,termasuk supir dan pesuruh.
(2).Bantuan blok (ganjaran) yang tidak besar,untuk propinsi dan Dati II untuk pengeluaran rutin :nilainya 4% dari SDO
(3).SPP- SDN (3% dari SDO),untuk menutup berbagai biaya menyelenggarakan pendidikan dasar sebelumnya dibiayai dari uang sekolah.Biaya ini mencakup belanja barang,upaya mendorong kegiatan olahraga dan tunjangan khusus untuk guru dan tenaga pengawas
(4). Bantuan lain-lain untuk belanja pegawai pemerintah daerah;untuk pegawai kecamatan, latihan pegawai,dan pengganti penerimaan dari kutipan sebesar Rp.1 per liter bahan bakar yang telah dihapuskan
Bantuan Inpres untuk Pengeluaran Pembangunan
     Bantuan blok untuk pembangunan ini diberikan pada propinsi,Dati II dan desa:
(1).Bantuan propinsi berupa sejumlah uang per propinsi dan diberikan sebesar berikut:Rp.12 milyar untuk masing-masing propinsi selebihnya,pada tahun 1986/87. Sebagian dari bantuan itu (bagian ditetapkan) harus digunakan untuk memperbaiki atau merawat ruas jalan tertentu dan saluran pengairan;selebihnya (bagian diarahkan) tidak dibatasi ketentuan apa-apa tetapi perlu persetujuan pemerintah pusat bila hendak digunakan.Bantuan pada propinsi tertentu juga meliputi dana pendamping untuk program pembangunan propinsi yang mendapat bantuan dana dari luar negri dan ditujukan untuk membangun perekonomian daerah-daerah miskin.
(2).Bantuan untuk Dati II diberikan per kepala (Rp1.250,- pada tahun 1986/87),dengan jumlah minimum Rp 170 juta per Dati II.Bantuan ini dimaksudkan untuk proyek-proyek padat karya dan sebagian terbesar dipakai untuk memperbaiki prasarana fisik. Jumlah bantuan diusulkan oleh Dati II,dan ini kemudian perlu persetujuan dan pemantauan oleh tingkat pemerintah lebih tinggi.
(3).Bantuan untuk desa,berupa satu jumlah per desa (Rp.350.000,- pada tahun 1986/87) dan diberikan atas usul desa untuk pembangunan,berbeda dengan Inpres Dati II,bantuan desa ditujukan untuk mendorong sumbangan tenaga kerja cuma-cuma.
Bantuan Inpres untuk Pembangunan Sektor Tertentu:
   Ada lima program semacam ini yang semuanya dilaksanakan oleh pemerintah Dati II:
(1).Inpres Sekolah Dasar,untuk membangun atau memperbaiki gedung sekolah,untuk belanja buku dan alat-alat.
(2).Inpres Kesehatan,untuk mebangun gedung pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan puskesmas pembantu,untuk proyek air minum dan kesehatan lingkungan di pedesaan,dan belanja obat-obatan di puskesmas.
(3).Inpres Jalan,untuk mebangun dan memperbaiki jalan,terutama di pedesaan di luar Jawa.
(4).Inpres penghijauan dan Reboisasi,untuk belanja kegiatan penghijauan dan membuat pematang jenjang di bukit-bukit yang termakan erosi
(5).Inpres Pasar,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun pasar
(6).Inpres Pertokoan,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun  

Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam era otonomi daerah ini, bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari dari:
o Desentralisasi;
o Dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan
o Pinjaman daerah.
Desentralisasi Fiskal
       Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
      Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah. Pada tahun anggaran 2000 (dengan periode 9 bulan), transfer berjumlah Rp34 trilyun dari total belanja Rp197 trilyun. Dengan kata lain, sekitar sekitar 17% belanja Pemerintah Pusat ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah. Jumlah itu meningkat tajam baik dalam nominal maupun persentase. Pada tahun anggaran 2002 ini, transfer dalam bentuk dana perimbangan direncanakan Rp 98 trilyun, atau sekitar 29% dari total belanja APBN. 
     Selain dalam bentuk Dana Perimbangan,Tahun Anggaran 2002 kepada daerah juga diberikan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp3.4 trilyun. Dana Otonomi Khusus sebesar Rp1.4 trilyun dialokasikan kepada Propinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp2 trilyun dialokasikan kepada Daerah untuk menambah perolehan DAU TA 2002 khususnya bagi daerah yang DAU-nya mengalami penurunan dari TA 2001.
     Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke Daerah melalui Dana Perimbangan telah menyebabkan berkurangnya porsi dana yang dikelola Pemerintah Pusat, sebaliknya porsi dana yang menjadi tanggung jawab Daerah melalui APBD meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga disertai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.
     Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
     Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
      Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
 Pendapatan Asli Daerah
      Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU 34/2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
      Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis merupakan pungutan yang baik.
      Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak (kecuali propinsi) dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
     Ditinjau dari kontribusi pajak Daerah dan retribusi Daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara Daerah dengan Pusat terjadi ketimpangan yang relatif besar. Hal ini tercermin dalam jumlah penerimaan pajak yang dipungut Daerah hanya sekitar 3,45% dari total penerimaan pajak (pajak Pusat dan Daerah). Demikian juga distribusi pajak antar Daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600 kali). Peranan pajak dalam pembiayaan Daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat.
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
      Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
      Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84 Tahun 2001.
       Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN).
      Pola sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja.
     Sementara itu, dengan berkembangnya keinginan beberapa Daerah untuk mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya diluar yang sudah dibagihasilkan sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, sebenarnya terdapat opsi/alternatif lain yang lebih baik dilihat dari sudut akuntabilitas Pemerintah Daerah. Opsi tersebut adalah “piggy backing” atau opsen atau penetapan tambahan atas pajak Pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh Pemerintah Daerah sendiri dan hasilnya juga diterima oleh Daerah yang bersangkutan. Opsen tersebut misalnya dapat diberlakukan atas Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi.
Dana Alokasi Umum  
    Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
     Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada.
     Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
     Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.
      Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula fiscal gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang.
      Dalam formula dan perhitungan DAU TA 2001 (berdasarkan PP Nomor 104/2000) telah dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Formulasi dan perhitungan DAU TA 2001 dianggap mengandung banyak kelemahan terutama menyangkut keadilan antar Daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses tersebut merupakan proses awal/tahun pertama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.
     Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi kepada Pemerintah dari Tim Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas terkemuka yang selama ini terlibat dalam kajian dibidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS).
      Formula DAU tersebut telah disetujui oleh DPOD dan telah ditetapkan dengan PP Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Dalam perhitungan DAU TA 2002 (Rp69,1 triliun) terdapat beberapa daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan dibandingkan dengan DAU TA 2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001 khususnya daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan tersebut.
    Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran DPR RI telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001 ditambah Dana              Kontinjensi 2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar Rp2.054,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU berdasarkan formula pemerintah.
     Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU Propinsi, dimana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU Propinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh Propinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Propinsi sebesar Rp6,91 triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk Propinsi sebesar Rp7,47 triliun.
      Alokasi DAU TA 2002 untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal 31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Dana Alokasi Khusus
     Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/
prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional.
       Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor : SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor : SE-522.4/947/5/BANGDA.
      Atas dasar Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku sebagai SKO untuk Kabupaten/Kota dalam wilayah 21 Propinsi penghasil.
       Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Selain dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block grant” atau transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih didominsasi oleh Pemerintah Pusat.
Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya. Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint venture” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Bentuk “joint venture” itu secara umum sama antara dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perbedaannya adalah pada rekan kerja Pemerintah Pusat
Dekonsentrasi
       Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah.
     Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang tersebut sebenarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian hari kegiatan menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak Pemerintah Pusat dan dipertanggungjawabkan melalui APBN.
     Dalam perkembangannya, hingga saat ini bentuk hubungan dekonsentrasi ini belum dapat benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis masih melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT yang ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara dua hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen teknis untuk menyerahkan wewenang itu.
Pinjaman Daerah
      Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber pinjaman bisa berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung.
Penggunaan :
1.Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset Daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman.
2’Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.
    Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan permasalahan yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, mengingat hal-hal berikut :
1.Sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya belum diatur secara jelas;
2.Sebagian proyek-proyek pinjaman sedang berjalan (on-going);
3.Mekanisme untuk repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman, bunga dan resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum diatur secara rinci;
4.Jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas;
5.Akuntabilitas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas.
Guna penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut:
6.Merumuskan kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan
7.Menyusun “mapping” kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman.
     Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan pembahasan dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan mengenai on-lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mendapat penetapan.
Pengelolaan Keuangan Daerah
     Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari UU 22/1999 dan UU 25/1999 bukan sekedar keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas harus acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah pada khususnya.
    Sebagai penjabaran dari UU 25/1999 dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, pemerintah mengeluarkan PP 105/2000 yang antara lain menjelaskan:
1.APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana Pemda;
2.Struktur APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan;
3.Kepala Daerah menyusun laporan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
Untuk memudahkan derah melaksanakan amanat PP 105/2000 dimaksud, saat ini sedang dilakukan penyusunan pedoman pengelolaan keuangan daerah. Pedoman-pedoman tersebut meliputi :
4.Standar Akuntansi Pemerintah (untuk Pusat dan Daerah), saat ini sedang disiapkan perangkat hukum kelembagaannya yaitu Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik, yang anggotanya terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Pemda, Perguruan Tinggi, dan IAI.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini,masih perlu peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.









DAFTAR PUSTAKA

1 comment: