Translate

Monday 8 June 2015

DEFENISI PERNIKAHAN, HUKUM PERNIKAHAN, TUJUAN PERNIKAHAN

KATA PENGANTAR

 

السلام عليكم ور حمة الله و بر كا ته

 

 

Bismillahirrahmanirrahin.

 

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia beserta isinya. Tiada Tuhan selain Allah temapat kita mencurahkan segalanya. Allah tiadak pernah membedakan umatnya hanya karena fisiknya, kepandaiannya, kelebihannya, tapi Allah membedakkan umatnya berdasarkan ketaqwaan yang dimiliki umatnya. Allah adalah satu-satunya yang kita sembah. Dia-lah Zat yang kita sembah,tempat kita meminta pertolongan dan ampunannya-Nya. Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita,Nabi Muhammad SAW yang merupakan suri teladan. Berkat Nabi-lah kita dapat merasakan dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan samapai saat ini. 

            Alhamdulillah kami ucapkan, karena masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu untuk  menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan di dalam makalah. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

 

Wassalamualaikum wr.wb

 

 

                                                                                    Pekanbaru,28 Maret 2015

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2

DAFTART ISI...................................................................................................... 3

 

BAB I   PENDAHULUAN................................................................................. 4

              1.1 LATAR BELAKANG..................................................................... 4

              1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................. 5

              1.3 TUJUAN........................................................................................... 5

 

BAB II  PEMBAHASAN

              A.DEFINISI PERNIKAHAN............................................................... 6

              B.HUKUM PERNIKAHAN................................................................. 8

              C.TUJUAN PERNIKAHAN................................................................. 14

              D.SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN...................................... 20

              E.PERWALIAN DALAM PERKAWINAN........................................ 26

              F.UU PERKAWINAN NO.1/1974....................................................... 41

              G.PP NO.9/1975 PENJELASAN UU PERKAWINAN NO.1/74........ 42

 

BAB III                                                                                                             PENUTUP               51

              A.KESIMPULAN.................................................................................. 51

              B.SARAN............................................................................................... 51

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara yang berkembang dan merupakan negara yang mayoritas penduduknya Bergama islam telah berkembang pesat dengan berbagai cara masuk ki Indonesia, yaitu salah satunya dengan cara perkawinan.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa: 1

 

ياايهاالناس اتقوا ربكمالذي خلقكم من نفس وحدة وخلق

 

منها زوجهاوبث منهمارجالاكشيرا ونساء

Artinya:

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan darinyalah Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”

Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.

Dengan demikian hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan suatukerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan.

 

 

1.2  RUMUSAN MASALAH

Didalam rumusan masalah ini akan dikaji beberapa pembahasan yang berdasarkan pendekatan Imam Mazhab dan Hukum Keluarga Islam Indonesia.

A.      Apakah definisi nikah?

B.       Bagaimana hukum nikah?

C.       Apa tujuan nikah?

D.      Apa syarat dan rukun nikah?

E.       Bagaimana perwalian dalam perkawinan?

 

1.3  TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperluas pengetahuan dan materi apa-apa saja yang ada didalam pernikahan yang sudah diketahui atau bahkan yang belum diketahui oleh para pembaca makalah ini khususnya mahasiswa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      DEFINISI PERNIKAHAN

Secara etimologi perkawinan adalah dalam bahasa Arab disebut dengan النكاح yang bermakna الوطء  dan al-Dammu wa al-Tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-Dammu wa al-Jam’u, atau ‘ibarat ‘aii al-wath’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.[1]

Secara terminology pernikahan dapat didefinisikan oleh beberapa para ahli atau mazhab, yaitu:

a.       Menurut para ahli

1.      Wahbah al-Zuhaily

Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.[2]

Akad yang telah ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.[3]

2.      Al-Malibari

Mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij.[4]

3.      Muhammad Abu Zahrah

Di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[5]

b.      Menurut empat mazhab

1.      Menurut Hanafiah.

Nikah adalah akad yang mem­beri faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama. tidak ada. faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.

2.      Menurut Hanabilah.

Nikah adalah akad yang meng­gunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Atau Pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal inkah  atau tarwiijun  untuk mendapatkan kepuasan.[6]

3.      Ulama Syafi’iyah

Pernikahan adalah suatu akad yang menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati.

4.      Ulama Malikyah

Pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga.

 

Arti milik dalam hal pernikahan adalah Milku Al-manfa’at  yaitu dengan akad nikah, maka suami dan istri dapat saling memanfaatkan untuk mencapai kehidupan dan keharmonisan rumah tangga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.[7]

Di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1, pengertian pernikahan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[8]

Menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu di Pasal 2 dinyatakan bahwa, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidzan.[9] untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

 

B.       HUKUM PERNIKAHAN

Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jamhur berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunnah, sedangkan golongan zahiri mengatakan bahwa menikah itu wajib. Para ulama maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib bagi sebagian orang, sunnah  untuk sebagian orang, dan mubah bagi golongan lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya.

Hal ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadist berikut serta hadist-hadist lainnya yang berkenaan dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib, atau sunnah, atau mumhkin mubah.[10]

Ayat tersebut adalah:

فانكحواماطابلكم من النساءمثنىوثلاث وربع...النساء: 3

Artinya:

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat”.

Dan hadist yang dimaksud, yaitu:

تناكحواتكثروافانى اباهى بكم الامم يوم القيامة (رواه عبدالرزاق)

Artinya:

“Nikahlah kamu, perbanyaklah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain pada hari kiamat”. (HR Abdur Razzaq)

Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa minikah itu wajib bagi sebagian orang dan sunnah untuk sebagian orang serta mubah bagi golonga laiinya , dan berdasarkan atas pertimbangan kemaslahatan . qiyas semacam inilah yang disebut qiyas mursal, yaitu suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandraan. Dalam hal qiyas ini kebanyakan ulama mengingkari, tetapi Nampak jelas dipegangi mazhab maliki.

Berdasarkan urain diatas, maka dapat dikataka bahwa hukum nikah itu dapat berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Berikut hukum nikah, yaitu:

 

1.      Wajib

Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Menjauhkan diri dari dari perbuatan haram adalah wajib, maka menikah adalah jalan terbaik.[11]

Imam Qurtuby berkata “Bujangan yang sudah mampu menikahdan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia nikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedang ia tidak mampu menafkahi istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan rezekinya”.

Firman Allah SWT:

 

وليستعفف الذين لايجدون نكا حاحتى يغنيهم الله من فضله...

 

 النور: 33

Artinya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sehingga Allah memberikan kemampuan mereka dengan karunia-Nya”.[12]

Senada dengan pendapat ini adlah ulama malikiyah  yang mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut dirinya akan terjerumus keperzinahan, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.

Berikut beberapa kriteria tentang wajibnya menikah bagi seseorang, yaitu:

N0

Malikiyah

Hanafiyah

1.

Takut akan terjerumus keperzinahan.

 

Yakin apabila tidak menikah akan berbuat zina.

 

2.

Untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau mampu berpuasa tapi tidak bisa menahan nafsunya.

 

Tidak mampu berpuasa untuk mengekang nafsu seksual.

 

3.

Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.

 

Tidak mampu menyatukan kekayaan manusia.

 

4.

-

Mampu memberikan mahar dan memberi nafkah.

 

 

2.      Sunnah

Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan diri dari zina, maka hukum menikah baginya adlah sunnah. Menikah baginya lebih utama daripada berdiam diri menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta (anti nikah) sama sekali tidak di benarakan dalam islam.[13]

 

Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan dari sa’ad bin abi waqas:

 

ان الله ابدلنابلرهبانية الحنفية السمحة (رواه الطبرانى)

Artinya:

“Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaaan dengan cara yang lurus lagi ramah (menikah) kepada kita”.[14]

      Dalam hadist lain juga disebutkan:

 

تزوجوافانى مكاثربكم الامم ولاتكونواكرهبانية النصارى (رواه البيهق)

Artinya:

“Menikahlah kalian, karena aku akan membanggakan banyaknya jimlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta nasrani”.

Baik alama hanafiyah dan ulama hambaliyah ulama hambaliyah mereka sependapt bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus dalam lembah perzinahan.[15]

Ulama malikiyah berpendapat bahwa menikah itu sunnah bagi mereka yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia mampumelakukan kewajiban denagn mencari rezeki yang halal serta mampu melakukan hubungan seksual.

Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang melakukanya denagn niat untuk mendapatkan ketengan jiwa dan melanjutkan keturunan.

3.      Haram

Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu memberi nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah batinkepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak, atau ia mempunyai keyakinan apabila ia menikah ia akan keluar dati islam, maka hukum menikah adalah haram.[16]

Al-Qurtuby berkata “Bila seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istrinya atau membayar maharnya, serta tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepadanya atau sampai datng saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Begitu juga apabila karena sesuatu hal ia menjadi lemah, tidak mampu menggauli istrinya, maka ia wajib menerangkannya denagn terus terang agar calon istrinya tidak tertipu olehnya”.

Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar bahwa dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak suaminya, atau ada hal-hal yang menyebabkan ia tidak bisa melayani suaminya, karena sakit kusta atau Karen apenyakit kemaluanny, maka ia tidak boleh mendustainya. Ia wajib menjelaskan semuanya kepada calon suami.

Kalau ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada pacarnya, maka ia berhak membatalkannya.

4.      Makhruh

Hukum menikah menjadi makruh bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinyawalaupun tidak merugikannya karena ia kaya dan tidak mempunyai mempunyai keinginan stahwatnya yang kuat. Juga bertambah makruh hukunya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau menuntut suatu ilmu.[17]

Para ulama malikiyah mengatakan bahwa menikah itu hukumnya makruh bagi seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada calon istrinya.

Sedangkan ulama Ay-Syafi’iyah mengatakan bahwa menikah itu hukunya makruh bagi orang-orang yang mempunyai  mengkhawatirkan tidak mampu memberikannya pada istrinya.

5.      Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewaibkan segara menikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah, maka hukumnya mubah.

Ulama Hambali mengatakan bahwa hukumnya mubah, Bagii orang yang tidak mempunyaikeinginan untuk menikah.

 

C.       TUJUAN PERNIKAHAN

Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan menikah, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.

 

 

 

Berikut hadist rasul:

 

انكحوا المرأةلابع لمالهاولحسبهاولجمالهاولدينها

Artinya:

“Nikahilah perempuan karena empat perkara, yaitu Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya”.[18] (HR Bukhari dan Muslim)

Sinyalemen Rasul memang merupakan kenyataan bahkan menjadi pilihan utama bagi seseorang yang akan menikah, untuk selalu mengutamakan empat hal tersebut.

Melalui hadist tersebut Rasul menganjurkan bahwa hwndaklah tujuan dan pertimbangan agama serta akhlak yang menjadi tujuan utama dalam pernikahan. Hal ini kerena kecantikan atau kegagahan, harta dan pangkat serta lainnya tidak menjamin tercapainya kebahagiaan tanpa didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur.

Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.      Melaksanakan Libido Seksualis تغيدالوطء

Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda. Dengan pernikahan, seorang lak-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan  dengan sah dan negitu pula sebaliknya.

 

Firman Allah SWT surah Al-baqarah: 223

نساؤكم حرث لكم فأتواحرثكم انى شئتم وقدموالانفسكم..

 

.

Artinya:

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu”.

2.      Memperoleh keturunan

Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak.

Firman Allah dalam surah Asy-Syura’: 49-50

لله ملك السموت والارض ط يخلق مايشاء ط يهب لمن

 

يشاءانثاويهب لمن يشاءالذكور (49)

 

اويزجهم ذكراناوانثاج ويجعل من يشاءعقيماط  انه عليم

 

قدير(50)

Artinya:

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada sia yang Dia kehendaki, dan Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendakinya) dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki, sesungguhnaya  Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa”.

3.      Memperoleh keturunan yang soleh الذريه الطيبة

Keturunan yang saleh/saleha bisa membahagiakan kedua orangtua, baik didunia dan diakhirat kelak. Dari anak yang diharapkan oleh orangtua hanyalah ketaatan, akhlak, ibadah, dan sebagainya yang bersifat kejiwaan.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

اذامات ابن ادم انقطع عمله الامن ثلاث صدقة جارية اوعلم

 

 ينتقع به اوولدصالح يدعوله. (رواه البخارى)

Artinya:

“Jika seseorang anak Adam telah meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: sadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya”.[19] HR.Bukhari

4.      Memperoleh kebahagiaan dan ketentramanطلب السعادة

Dalam hidup keluarga perlia adanya ketentraman, kebahagian, dan ketenagan lahir batin. Dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenagan ibadah.

Firman Allah SAW dalam surah al-a’raf: 189

هوالذى خلقكم من نفس واحدة وجعل منهازوجهاليسكن اليها (الاعراف

Artinya:

“Dialah yang menviptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan isrtinya agar dia merasa senang kepadanya”. (Q.S Al-a’raf: 189)ز[20]

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجالتسكنوااليها

 (الوم:21)

Artinya:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadannya”. (QS.Ar-rum 21)

5.      Mengikuti sunnah Nabi SAW    اتباع السنة النبي

Nabi Muhammad menyur uh umatnya untuk menikah sebagaimana hadist nabi:

النكاح من سنتى فمن لم يعمل بسنتى فليس منى

Artinya:

“Nikah itu adalah sunnahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, dia bukan umatku”. HR. Ibnu Majah

6.      Menjalankan perintah Allah SWT امتثال اوامرالله

Allah menyuruh kepada kita untuk menikah bila sudah mampu.

Dalam ayat Allah berfirman:

فنكحواماطاب لكم من الساء

Arinya:

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai”. QS.An-nisa:3

 

Hadist nabi SAW:

عن ابن مسعود قال لنارسول الله صلى الله عليه وسلم:

 

يامعشرالشباب من استطاع منكم الباءة فايتزوج فانه اغض

 

 للبصرواحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه وجاء

 

Artinya:

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya Rasullah bersabda kepadaku, “Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nafkah, maka nikahlah, karena sessungguhnya pernikahan itu dapar menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj. Barang siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa merupakan benteng baginya”.[21] (Muttafaq alaih)

7.      Untuk berdakwah

Nikah dimaksud untuk dakwah dan penyebaran agama, islam memperbolehkan seorang muslim menikahi perempuan kristiani, katholik, ataupun hindu. Akan tetapi melarang perempuan muslimah melarang menikah dengan pria kristiani, katholik, ataupun hindu. Hal ini atas dasar pertimbangan karena pada umumnya pria itu lebih kuat pendiriannya dibandingkan dengan wanita. Disamping itu, pria adalah sebagai kepala rumah tangga. Demikian menurut pertimbangan hukum Syadud Dzaariiah.[22]

 

D.      SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN

1. Syarat Pernikahan

Syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat tersebut terpenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami istri.

Pada garis besarnya, syarat sah nikah ada dua, yaitu:

a.       Laki-laki dan erempuan sah untuk dinikahi.

b.      Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Sedangkan menurut beberapa mazhab fikih syarat sah nikah, yaitu:

1.      Ulama Hanafiah, mengatakan bahwa sebagian starat-syarat pernikahan berhubungan denagn sigat, dan sebagian lagi berhubungan dengan akad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.[23]

a.       Sigat yaitu ibarat dari ijab dan Kabul, dengan syarat sebgai berikut:

1.      Menggunakan lafal tertentu, baik dengan lafal sarih misalnya: tazwij atau inkahin.

Maupun denagn lafal kinayah, seperti:

o   Lafal yang mengandung arti akad untuk memiliki, misalnya: saya sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak saya kepada kamu, dsb.

o   Lafal yang mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya: milikilah diri saya untukmu, milikilah anak perempuan saya untukmu dengan Rp. 500,00;

o   Dengan lafal ijarah atau wasiat, misalnya: saya ijarahkan diri saya untukmu, saya wasiat jika saya mati anak perempuan saya untukmu.

1.      Ijab dan Kabul, dengan syarat yang dilakukan dalam salah satu majelis.

2.      Sigat didengar oleh orang-orang yang menyaksikannya.

3.      Antara ijab dan Kabul tidak berbeda maksud dan tujuanya.

4.      Lafal sigat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.

a.       Akad

dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baliq, dan merdeka.

b.      Saksi

Terdiri atas dua orang, maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang. Dan tidak disyaratkan keduanya harus laki-laki dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila saksi terdiri dari dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah.[24]

 

Adapun syarat-syarat saksi ialah:

1.      Berakal.

2.      Baliq.

3.      Merdeka.

4.      Islam.

5.      Kedua saksi mendengar.

 

2.      As-Syafi’i

Berpendapat bahwa syarat-syarat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan sigat, ada juga yang berhubungan dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan kedua calon pengantin, da nada juga yang berhubungan dengan saksi.

Sedang menurut, UU Perkawinan dan KHI yang dirumuskan sebagai berikut:

a.       Syarat-syarat calon mempelai pria adalah:

1.      Beragama islam

2.      Laki-laki

3.      Jelas orangnya

4.      Dapat memberikan persetujuan

5.      Tidak terdapat halangan perkawinan

b.      Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah:

1.      Beragama islam

2.      Perempuan

3.      Jelas orangnya

4.      Dapat memberikan persetujuan

5.      Tidak terdapat halangan perkawinan[25]

 

2.      Rukun pernikahan

Menurut jumhur ulama rukun pernikahan adalah:

1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melaksanakan pernikan

Sudah jadi sunnatullah bahwa semua makhluk dijadiakan oleh Allah dimuka bumi ini dengan berpasang-pasangan termasuk manusia.[26]

Sebagai makhluk social, manusian jelas membutuhkan teman hidup dalam masyarakat yang diawali dengan membentuk keluarga sebagai unsur masyarakat kecil.

Firman Allah SWT:

 

ومن كل شىء خلقنازوجين لعلكم تذكرون

 

Artinya:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.

QS.Al-Az-Zariyat:49

 

Allah juga berfirman:

 

سبحن الذي خلق الازواج كلهامماتنبت الارض ومن

 

 انفسهم وممالايعلمون

 

Artinya:

“Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. QS.Yasin:36

Untuk menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan, disyari’atkanlah pernikahan. Oleh karean itu, apabila seseorang telah mampu memberikan nafkah dan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan maka dianjurkan untuk menikah.[27]

2.      Adanya wali dan pihak calon pengantin wanita

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahinya. Keterangan ini dapat dilihat dalam sebuah hadist, yaitu:

 

ايماامرأة نكحت بخيراذن وليهافنكاحها باتل

 

Artinya: “Barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”. (HR. Empat ahli hadist, kecuali nasa’i)

 

Dalam hadist lain juga disebutkan:

 

لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

Artinya: “Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.  (HR. Ibnu Majah dan Darutqutni)[28]

3.      Adanya Dua Orang saksi

Pelaksanaan akad nikah akan sah jika ada dua orang saksi.

 

لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi”.

4.      Sigat Akad Nikah

Yaitu, ijab Kabul yang diucapakan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin. Akad nikah itu sa apabila diucapkan dengan menggunakan fi’il mudari seperti inkahin atau tazwij, atau yang searti dengan keduannya.[29] Beberapa contoh wali ijab Kabul:

a.       Walinya ayah sendiri dan pengantin prianya sendiri.

b.      Walinya wakil, pengantin prianya sendiri.

c.       Wali ayahnya sendiri, pengantin prianya wakil.

d.      Walinya wakil, pengantin prianya juga wakil.

e.       Walinya adik/kakak sekandung.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

اِتقواالله فى النساءفانكم اخذتموهن بأمانة الله واستحللتم

 

 فروجهن بكلمت الله

 

Artinya: “Takutlah kepada Allah dan urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan mereka dengan kalimat Allah SWT”.

                        Imam Malik berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:

a.       Wali dari pihak perempuan.

b.      Mahar.

c.       Calon pengantin pria.

d.      Calon pengantin perempuan.

e.       Sigad akad nikah.

Sedangkan Imam Syafi’I berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:

a.       Calon pengantin pria.

b.      Calon pengantin perempuan.

c.       Wali.

d.      Dua orang saksi.

e.       Sigad akad nikah.[30]

 

E.        PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN

A.    MASALAH WALI

1.      Wali sebagai syarat sah nikah

Adalah suatu ketentuan hukum bahwa wali dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Ada wali yang umum dan ada yang khusus. Wali yang khusus adalah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda.

Sesorang boleh menjadi wali apabila ia merdeka, berakal, dan dewasa. Disamping itu wali juga harus beragana islam. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا

 

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman”.[31] (QS. An-nisa: 14)

Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam masalah wali, apakah ia menjadi syarat sahnya pernikahan atau tidak?

Imam Maliki berpendapat bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini juga dikemukakan Imam Syafi’i.

Imam Abu Hanifah, Zufar, asy Sya’bi, dan Az-Zuhri berpendapat bahawa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding, maka pernikahannya boleh.

Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkan kepada janda. Pendapat lain mengatakan bahwa persyaratan wali itu hukumnya sunnah bukan fardu, Karena mereka berpendapat bahwa adanya waris mewarisi antara suami dan istri  yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, juga wanita terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang laiki-laki untuk menikahkannya. Imam Malik juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya.

Dengan demikian, seolah-olah Imam Malik menganggap bahwa wali itu termasuk syarat kelengkapan pernikahan bukan syarat sahnya pernikahan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki negeri bagdad, yang mengatakan bahwa wali itu syarat sahnya pernikahan. Meraka yang mengatakan bahwa wali itu adalah syarat sahnya pernikahan yaitu atas dasar:

Firman Allah SWT:

فاذابلغن اجلهن فلا جناح عليكم فيمافعلن

 

Artinya:

“Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagi mu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka”. QS. Al-baqarah: 234

Menurut mereka ayat ini ditunjukan untuk para wali. Jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalangi-halangi. Dalam ayat lain Allah berfirman:

ولاتنكحوا المشركت حتى يؤمن

Artinya:

“Dan janganlah kamu menikahkan orang yang musyrik (dengan wanita-wanita muknim) sebelum mereka beriman”.[32] QS. Al-baqarah: 221

Didalam hadist nabi SAW yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, dari Urwah, dari aisyah dijelaskan:

قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ

 

 بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا

 

 اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

 

Artinya:

“Aisyah berkata, Rasulullah bersabda: “siapapun wanita yang menikah tabpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali”. HR. Tarmizi

Adapun golongan yang tidak mensyaratkan wali, mengemikakan alasan sebagai berikut:

Firman Allah SWT:

فاذابلغن اجلهن فلا جناح عليكم فيمافعلن فى انفسهن

 بالمعروف

Artinya:

“Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagi mu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut”. QS. Al-baqarah: 234

Menurut mereka ayat ini merupakan dalil bagi kebolehan wanita bertindak menikahkan dirinya sendiri. Mereka juga mengatakan bahwa perbuatan menikahkan yang disandarkan kepada wanita, banyak disebutkan dalam al-quran diantaranya:[33]

فلاتعضلوهن ان ينكحن ازواجهن

Artinya:

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi meraka kawin lagi dengan bakal suaminya”.[34] QS. Al-baqarah: 232

حتى تنكح ازواجاغيره

Artinya:

”Hingga dia kawin dengan suami yang lain”.[35] QS. Al-baqarah: 230

Hadist Nabi SAW:

Artinya:

“Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah Saw bersabda: “janganlah dinikahkan perempuan janda sebelum dimintai pendapatnya dan perawan sebelum dimintai izinnya. ”Sahabatnya bertanya, “Bagaimana cara izinnya perawan itu ya Rasulullah?”beliau menjawab,”Diamnya adalah izinnya”. HR. Jama’ah

Hadist tersebut oleh abu Dawud dijadikan alasan untuk memisahkan  antara janda dengan gadis dalam masalah ini. Dalam hadist lain juga disebutkan:

 اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذنُ فى نفسها , وَإِذْنُهَا   صماتُهَا

Artinya:

“Dari Ibnu abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “janda itu lebih berhak kepada dirinya sendiri dari pada walinya. Dan gadis hendaknya dimintai izinnya dalam perkara dirinya, dan izinnya adalah diamnya”. HR. Jam’ah, kecuali Bukhari[36]

وفى راية لاحمدومسلم وابى داود والنسائ:

البكريستأمرهاابوها

Dalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’I dikatakan, “Dan gadis hendaknya ayahnya diminta izin kepadanya. “(maksudnya sebelum diadakan akad nikah harus ditanya lebih dahulu tentang persetujuannya).[37]

2.      Macam-macam wali

Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim, wali tahkim, dan wali maula.

a.       Wali Nasab

Adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang wali urutan nasab, terdapat perbedaan pendapat antara ulama fikih. Imam Malik mengatakan bahwa, perwalian itu didasarkan atas keasabahan, kecuali anak laki-laki, dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali.[38]

Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai kebawah lebih utama, kemudian ayah sampai atas, kemudian saudara-saudara lelaki seayah seibu, kemudian lelaki seayah, kemudian anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek pihak ayah, sampai keatas.[39]

Al-Mugni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan-uurutan saudara-saudara lelaki sampai kebawah, kemudian bekas tuan (almaula), kemudian penguasa.

Imam Syafi’I memegangi keasabahan, yakni bahwa anak lelaki tidak termasuk asbah seorang wanita, berdasarkan hadist Umar r.a sebagai berikut:

لاتنكح المرأة الاباذن وليهااوذى الرأي من اهلهااوالشلطان

Artinya:

 “Wanitra tidak boleh menikah kecuali dengan izin walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa”.[40] Pada  AL-hadist

Sedangkan Imam Maliktidak menganggap asabah pada anak, berdasarkan hadist Ummu salamah r.a. :

ان النبي صلى الله عليه وسلم امر ابنهاان ينكحهااياه

Artinya:

“Sesungguhnya Nabi SAW menyuruh anaknya (yakni anak Ummu Salamah) untuk menikahkan (ibunya) terhadap beliau”.  Al-hadist

Jumhur ulama fiqih Sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut:

1.      Ayah seterusnya keatas

2.      Saudara laki-laki kebawah

3.      Saudara laki-laki ayah kebawah

Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan diatas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika nomor 1 tidak ada nomor, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab’ad, dst.

Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah sebagai berikut:

1.      Apabila wali aqrabnya nonmuslim.

2.      Apabila wali aqrabnya fisik.

3.      Apabila wali aqrabnya belum dewasa.

4.      Apabila wali aqrabnya gila.

5.      Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.

 

b.      Wali hakim

Wali hakimadalah wali nikah dari hakim atau qadi. Rasulullah SAW bersabda:

فالسلطان ولي من لا ولي له

Artinya:

“Maka hakimlah yang berindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya”. HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’

Orang-orang yang bertindak menjadi wali hakimadalah: kepala pemerintah, khalifah (pemimpin), penguasa, atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.

Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.

Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:

1.      Tidak ada waki nasab.

2.      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad

3.      Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92.5 KM atau dua hari perjalanan.

4.      Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui.

5.      Wali aqrabnya adol.

6.      Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit).

7.      Wali aqrabnya sedang ihram.

8.      Tidak Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah.

9.      Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.

Wali hakim tidak berhak menikahkan:

1.      Wanita yang belum baliqh.

2.      Kedua belah pihak tidak sekufu’.

3.      Tanpa seizing wanita yang akan menikah.

4.      Diluar daerah kekuasaannya.[41]

c.       Wali tahkim

Yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat, “Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya pada si (calon istri) dengan mahar… dan putusan bapak/saudara saya teriama dengan senagng”. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini”.

Wali tahkim terjadi apabila:

1.      Wali nasab tidak ada.

2.      Wali nasab gaib/bepergian jauh.

3.      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk.

d.      Wali maula

Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan disini yang dimaksud teritama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.

Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Hukais binti Qharidh, ia berkata pada Abdur Rahman bin Auf, “lebih dari seorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian Abdur Rahman bertanya, “apakah berlakunjuga bagi diri saya?” ia menjawab, “iya”. Lalu kata Abdur Rahman, “kalau begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu”.

Malik berkata, “Anadai saja seorang janda berkata kepada ealinya, nikahkan aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan dirinya sendiri, atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersngkutan, maka sahlah nikahnya walau calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya”. Pendapat ini  juga senada dengan Hanafi, Lais, Sauri, dan Auza’i.[42]

Sedangkan Syafi’i berkata, “Yang menikahkanya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk syarat pernikahan. Jadi. Pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaiman penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri.[43]

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi’I dan Adu Dawud, ia mengatakan bahwa kalau masalah ini diqiaskan dengan seorang penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab jika seorang yang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu memberinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan.

Ia beralasan dengan sebuah hadist yang diriwayatkan dari Anas r.a:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتق صفية وتزوجها

 وجعل عتقها صداقها واولم عليها بحبس

Artinya:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerdekan sofiah lalu dijadikannya istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta mengadakan walimahanya dengan seekor kambing”.[44] HR. Bukhari

Begitulah tindakan rasulullah, beliau menikahkan bekah budak perempuannya dengan beliau sendiri, sedang beliau merupakan sumber hukum bagi yang lain.

Allah SWT berfirman:

وانكحواالايمى منكم والصلحين من عبادكم وامائكمط ان

يكونوافقراءيغنهم الله من فضلهط والله واسع عليم

Artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan oranh-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui.[45] QS. An-nur: 32

Dengan demikian, maka Allah tidak melarang mereka yang menikahkan budak perempuan untuk dirinya sendiri atas dasar suka sama suka dan saling rela diantara keduanya.

 

4.      Wali Mujbir dan Wali ‘Adol

          Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti oerang gila, perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk didalamnya perempuan yang masih gadis, maka boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya.

          Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak menikahkan seorang perempuan yang diwalikan diantaragolongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida atau tidaknya.

          Agama mengakui wali mujbir itu karena memperhatikan kepentingan orang yang diwalikan, sebab orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Disamping itu, ia belumdapat menggunakan akalnya unutk mengetahui kemaslahatan akad yang dihapapinya.

          Adapun yang dimaksud dengan mujbir adalah hak seorang ayah (keatas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada pertengkaran antara wali dengan perempuan yang menjadi wilayat.

2. Calon suaminya sekufu’ dengan calon istrinya, atau yang lebih tinggi.

3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat akad nikah.

          Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak ijbar menjadi gugur.

 Sebenarnya ijbat tidak harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok disebut pengarahan.

Wali yang tidak mujbir adalah:

1. Wali selain ayah, kakek, dan keatasnya.

2. Waliyatnya terhadap wanita-wanita yang sudah baliq.

3. Calon wanita janda, maka izinnya harus jelas

4. Calin wanita gadis, maka cukup dengan diam.

 

          Apabila  wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baliq, yang akan menikah dengan seprang pria yang khufu’, maka dinamakan wali adol.

          Apabila terjadi seperti itu, maka perwaliannya langsung pindah kewali hakim bukan kepada wali ab’ad, karena adol adalah zalim, sedangkan sesuatu yang menghilangkan zalim adalah hakim. Tapi jika adolnya sampai tiga kali, Berarti dosa besar dan fasiq maka perwalian pindah ke wali ab’ad.

          Lain kali kalau adolnya itu karena sebab nyata yang dibenarkan oleh syara’, maka tidak disebut adol, seperti wanita yang menikah dengan pria yang tidak kufu’, maka menikah maharnya dibawah misil, atau wanita dipinang oleh pria lain yang lebih pantas (kufu) dari pinangan pertama.

Ma’qil bun Yasar berkata, “Saya mempunyai saudara perempuan yangdatang meminang saya, kemudian datang pula kepada saya seorang laki-laki anaknya paman saya. Kemudian saya nikahkanlah saudara perempuan tersebut dengannya. Akan tetapi, selanjutnya keduanya bercerai dengan talak raj’I, hingga masa iddahnya selasai. Maka ketika datang perempuan itu untuk meminang saya, laki-laki itu datang pula meminangnya kembali. Lalu saya menjawab, “Tidak”. Demi Allah saya tidak akan menikahkan dia selama-lamanya.” Lalu ma’qil berkata “Dalam kejadian ini maka turunlah ayat.[46]

واذطلقتم النساءفبلغن اجلهن فلاتعضلوهن ان ينكحن ازواجهن

Artinya:

“apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) memghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya”. QS Al-baqarah 232

          Yang dimaksud kawin dengan balak suaminya adalah kawin lagi dengan mantan suaminya atau laki-laki lainnya.

          Selanjutnya ma;qil berkata “Kemudian saya membayar kaffarat atas sumapah saya, lalu saya nikahkan dia dengan calon suaminya.

5. Sifat-sifat seorang wali

    Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus:

1. Islam.

2. Dewasa.

3. Laki-laki,

          Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba saya, orang fasik, dan orang yang bodoh.

          Mengenai kecerdikan menurut mazhab maliki tidak termasuk syarat dalam perwalian. Pendapar senada juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanafi. Akan tetapi Imam Syafi’I berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian. Sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu Musy’ab. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan kekuasaan (perwalian) dalam urusan harta benda. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa orang bodoh, tidak sah menjadi wali.

          Bagi fuqha yang berpendapat bahwa kecerdikan merupakan syarat dalam perwalian untuk menikahkan bersama ketiadaannya pada perwalian dalam urusan harta benda, mereka mengatakan bahwa seorang wali tidak disyaratkan harus cerdik pula dalam urusan harta benda.

          Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan itu tidak diisyaratkan dalam perwalian, maka mereka mengharuskan adanya kecerdikan dalam masalah harta benda.

          Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua bagian, yaitu: bahwa kecerdikan dalam urusan dalam urusan harta benda berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon suami yang patut untuk wanita.

          Dalam masalah keadilan, ulama juga berbeda pendpat dalam kaitannya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, apabila tidak terdapat keadilan, maka tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon suami yang seimbang bagi wanita yang berada dibawah perwaliannya.

          Sedangkan tentang hamba sahaya, karena tidak sempurnanya, maka terdapat perselisihan tentang perwaliannya sebagaimana diperselisih tentang perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang keadilannya.

6. Wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali

          Apabila ada seseorang yang dinikahkan oleh dua orang wali yang sederajat kepada dua orang laki-laki, maka boleh jadi salah satunya melaksanakan lebih dahulu ketimbang lainnya, atau bisa jadi keduanya bersama-sama melaksanakan akad nikah dalam satu waktu, baik dapat diketahui pelaksaannya atau tidak. Jika dapat diketahui nama yang lebih dahulu melaksanakannya, maka fuqaha sepakat bahwa perempuan itu menjadi istri lelaki yang pertama jika lelaki kedua belum menggaulinya. Akan tetapi , apabila lelaki kedua (yang nikahnya kemudian) telah menggaulinya, maka fuqaha berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa ia menjadi istri lelaki yang kedua. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Ibnul Qasim. Sedang pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Syafi’I dan Ibnul Abdil Hakam.

          Akan tetapi, apabila kedua wali tersebut secara bersama-sama menikahkannya, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa keduannya adalah batal, termasuk apabila tidak bisa diketahui yang mana yang pertama, sebab asalnya perempuan itu adalah haram sehingga jelas sebab batalnya.

 

F.        UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1/1974

       Orang-orang yang diperbolehkan melakukan pernikahan itu baik di dalam UU Perkawinan no.1 tahun 1974 maupun KHI, ketentuannya sama yaitu bagi calon mempelai laki-laki berusia 19 tahun dan bagi calon mempelai perempuan berusia 16 tahun.

Pasal 7 UU Perkawinan no.1 tahun 1974

(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

Pasal 15 KHI

(1)      Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal

7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun

 

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).[47]

 

 

 

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya;

c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;

d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

 

BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN


Pasal 2

(1)     Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2)     Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3)     Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 3

(1)     Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2)     Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3)     Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

 

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(1)     Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

(2)     Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula :

a.        Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b.       Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c.        Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d.       Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;

e.        Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

f.         Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

g.       Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ;

h.       Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

(1)     Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2)     Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :

a.        Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu ;

b.       Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

BAB III
TATACARA PERKAWINAN

Pasal 10

(1)     Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2)     Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(3)     Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

(1)     Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2)     Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3)     Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

BAB IV
AKTA PERKAWINAN

Pasal 12

Akta perkawinan memuat :

a.        Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri;

Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu ;

b.       Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;

c.        Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang;

d.       Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

e.        Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

f.         Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

g.       Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;

h.       Perjanjian perkawinan apabila ada;

i.         Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;

j.         Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pasal 13

(1)     Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.

(2)     Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.[48]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1, pengertian pernikahan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Didalam pernikahan terdapat beberapa hal yang sangat penting baik dari segi agama maupun dari segi hukum, yaitu:

1.      Hukum nikah

2.      Tujuan nikah

3.      Syarat dan rukun nikah

4.      Perwalian dalam perkawinan

 

B.     Saran

Apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, kami selaku penulis menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi makalah yang sempurna.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzhib al-Arba’ah, Juz IV (t.tp. Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986),

Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

Abdurahman AL-Jaziri, Al-fiqhu Ala Madzaahibil Arba’ah, Al-Maktabah At-Tajariyatul Qubra, Mesir, Tt.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 7.hal 8

http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk_penjelasan.htm

http://m-alwi.com/undang-undang-perkawinan-no-1-tahun-1974.html

A.Hanafi, Usul FIkih, Wijaya, Jakarta, 1961

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, At-Tahiriyah, Jakarta, 1976

 

 

 

 

 

 

 



[1] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989), hlm. 29.

[2]Ibid.

[3] Ibid.

[4] Muhammad Syata’ Al-Dimyati, I’anat al-Thalibin, Juz III (t.tp. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), him. 256.

 

[5] Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), hlm. 19

[6] Abdurchman Al-Jaziri, Kitab Fikih Ala Mazahib Al-Arba’ah, Al-Maktabah At-Tajiriyyatul Kubra, Mesir. Juz 4, hlm.2

 

 

 

[7] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

[8] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975)

 

[9] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Hukum perdata islam di Indonesia, (Sinar Grafika, 2006), hlm.12-13.

[10] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

[11] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

[12] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

 

[13] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989),

 

[14] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

[15] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

[16] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

[17] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

 

[18] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

 

[19] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

[20] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

 

[21] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

 

[22] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

 

[23] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989), hlm. 29.

[24] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzhib al-Arba’ah, Juz IV (t.tp. Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986),

 

[25] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Hukum perdata islam di Indonesia, (Sinar Grafika, 2006), hlm.12-13.

[26] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975)

[27] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzhib al-Arba’ah, Juz IV (t.tp. Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986),

[28] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

 

[29] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzhib al-Arba’ah, Juz IV (t.tp. Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986),

 

[30] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

 

[31] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

 

[32] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

[33] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

[34] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

[35] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

[36] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

 

[37] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

[38] Slamet Iskandar, Fikih Munafakat, IAIN Wali Songo, Semarang, tt.

 

 

[39] Abdurahman AL-Jaziri, Al-fiqhu Ala Madzaahibil Arba’ah, Al-Maktabah At-Tajariyatul Qubra, Mesir, Tt.

[40] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

 

 

[41] Abdurahman AL-Jaziri, Al-fiqhu Ala Madzaahibil Arba’ah, Al-Maktabah At-Tajariyatul Qubra, Mesir, Tt.

 

[42] Abdurahman AL-Jaziri, Al-fiqhu Ala Madzaahibil Arba’ah, Al-Maktabah At-Tajariyatul Qubra, Mesir, Tt

[43] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzhib al-Arba’ah, Juz IV (t.tp. Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986),

 

[44] Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

[45] Al-qur’qn dan Terjemahnya Al-karim (Departemen Agama).

 

[46] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 7.hal 8

 

[48] http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk_penjelasan.htm, diunduh pada hari juma’at, 27-03-2015, pukul 19.15

 

No comments:

Post a Comment