BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di indonesia
mencerminkan ketegangan–ketegangan antara pandangan yang mendukung pembagian
kekuasaan dan antara pandangan yang menekankan segi fungsi pemerintah daerah
dan pandangan yang menekankan segi peranan politik pemerintah daerah. Di pihak
lain, pemerintah pusat cenderung menggunakan peralatan keuangan yang
memungkinkannya dapat terus mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah. Kecuali
peranannya yang cukup besar dalam usaha menambah tenaga kerja di kantor pajak
pemerintah daerah, pemerintah pusat boleh dikatakan tidak ada mengambil langkah-langkah
untuk mendorong pemerintah daerah untuk mengerahkan sendiri sumber
penerimaannya, campur tangannya sebagian besar justru mengurangi atau
menghapuskan pajak daerah,pajak ekspor yang diserahkan pada provinsi dihapuskan
oleh pemerintah orde baru, meski alasannya cukup kuat dan diganti dengan
bantuan blok untuk pembangunan yang di hitung dan diarahkan oleh pemerintah
pusat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
dan Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan
di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak
(taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah
Pusat.
Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai
bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan
ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political
decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal
(fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam
penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama
menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan
dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang
lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi
administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:
•
Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah
Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hirarkinya.
•
Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan
yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak
Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah
Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu
melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak
langsung atas pelaksanaan tugas tersebut.
•
Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang
untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi
reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian
wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila
Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan
dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus
mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman,
maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan
desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor
berikut:
-
Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement;
-
SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;
- Keseimbangan dan kejelasan dalam
pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan
retribusi daerah. Belanja Pusat
Hubungan keuangan pusat dan daerah
Menurut Asep Nurjaman (Guruh,
Syahda, LS : 85 : 2000) ada beberapa alternatif bagaimana hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibangun, yaitu :
- Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan
memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized)
- Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan
cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly decentralized)
atau dikenal dengan nama confederal system.
- Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara
pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang
banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti
Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia.
Hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya
sejumlah dana dibagi di antara berbagai tingkat pemerintah, serta bagimana cara
mencari sumber-sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan
sektor publiknya (Devas, 1989: 179).
Instrumen yang dipergunakan
dalam perimbanhan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No. 25 Tahun 1999:
- Dana Perimbangan, yaitu
Dana yang bersumber dari
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
- Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu
Dana yang berasal dari APBN,
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi;
- Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu
Dana yang berasal dari APBN,
yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
- Dana Bagi Hasil, yaitu Pembagian hasil
penerimaan dari
- SDA dari, minyak bumi, gas alam,
pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan
- Penerimaan perpajakan (tax
sharring) dari pajak perseorangan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
- Pengaturan relasi keuangan pemerintah pusat dan
daerah, yang antara lain dilaksanakan melalui dana perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah (PKPD) adalah
- Dalam rangka pemberdayaan (empowerment)
masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak tertinggal di bidang
pembangunan,
- Untuk mengintensifkan aktivitas
dan kreativitas perekonomian masyarakat daerah yang berbasis pada potensi
yang dimiliki setiap daerah. Pemda dan DPRD bertindak sebagai Fasilitator
dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh rakyatnya. Artinya dalam
era otda rakyat harus berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan derahnya,
- Mendukung terwujudnya goog
governance oleh Pemda melalui perimbanhan keuangan secara
transparan, dan
- Untuk menyelenggarakan otda secara
demokratis, efektif, dan efisien dibutuhkan SDM yang profesional,
memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal yang
dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan meningkatkan kemampuan
daerah dalam membangun dan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah,
bukan hanya sekedar pembagian dana, lalu terjadi “desentralisasi KKN”
dari pusat ke daerah.
Tujuan Hubungan Pusat Daerah
Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian
ini bagaimana agar antara potensi dan sumberdaya masing – masing daerah dapat
sesuai. Hubungan keuangan pusat daerah mencerminkan tujuan politik yang
mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot kekuasaan yang
dijalankan pemerintah daerah dalam menentukan seluruh sistem pemerintahan.
Hubungan ini harus serasi dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah.
Namun inti masalahnya ialah bagaimana merumuskan peranan itu, karena
setidak-tidaknya ada dua peranan yang dapat di mainkan pemerintah daerah. Dan
kedua peranan ini mendapat dukungan walau lebih banyak bersifat dukungan
dibibir saja dalam perdebatan mengenai hubungan keuangan pusat daerah di
indonesia.
Pandangan pertama menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan
dari kemauan dan identitas masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah pada
dasarnya bersifat politik, dalam arti pemerintahan daerah merupakan wadah bagi
penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk
menyelenggarakan urusan setempat sesuai dengan keinginan dan prioritas
mereka.Peralatan keuangan yang dapat mendukung peranan semacam itu bagi
pemerintah daerah mencakup : (1) pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk
menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak menghasilkan pemasukan dan untuk
menentukan sendiri tarif pajak, (2) bagi hasil penerimaan pajak nasional antara
pemerinthan pusat da pemerinthan daerah, (3) bantuan umum dari pemerintahan
pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
Pandangan kedua pemerintah daerah pada dasarnya adalah lembaga untuk
menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah, dan sebagai alat yang
tepat untuk menebus biaya memberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk
daerah. Dari sudut ekonomi daya guna yang lebih besar dapat di raih bila
kebijaksanaan dan penggunaan sumberdaya dapat disesuaikan pada keadaan dan
kebutuhan setempat. Lagi pula, pajak daerah dan pungutan mungkin lebih adil
ebagai sumber biaya untuk menyediakan layanan-layanan yang tidak memiliki
dampak atas pihak luar atau pengaruh sampingan yang besar.
Ada beberapa faktor yang mendorong sikap dan kebijaksanaan yang cenderung
menutup-nutupi peranan otonomi dan politik pemerintah daerah dan menekankan
tuntutan tangan pemerintah pusat, Pertama, kekhawatiran mengenai
persatuan nasional, dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah. Kedua,
masalah memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber
daya antar daerah terutama antar pulau jawa yang dihuni bagian terbesar rakyat
indonesia, dan daerah luar pulau jawa yang banyak menghasilkan penerimaan
ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi negeri itu. Ketiga, pemerintah
pusat ingin dan berpangkal pada pengalaman pahit sebelum tahun 1965 memegang
kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Akhirnya penerimaan
dari minyak yang sangat penting dan otomatis masuk ke kantung pemerintah pusat
dan memainkan peranan yang besar sebagai bagian dari pendapatan negara (54%
dari anggaran negara 1984 - 1985).
Karena faktor-faktor ini, kekuasaan cenderung terkumpul di pusat. Tetapi
tekanan-tekanan yang menandingi kecenderungan ini juga ada. Umumnya disadari
untuk memelihara kehidupan politik yang serasi, perlu ada pembagian kekuasaan,
sampai batas tertentu.kesediaan untuk tunduk pada pemerintah pusat harus
diimbangi dengan beberapa peluang bagi daerah untuk melakukan beberapa pilihan
sendiri. Pertama Indonesia sangat luas dan ini melahirkan berbagai
tanangan dibidang perhubungan, pengetahuan mengenaikeadaan setempatdan
pengendalian yang berhasil guna. Kedua ada hambatan budaya dan fisik
terhadap pengendalian dari pusat dan terutama sifat tidak suka pertentangan,
yang menghambat pelaksanaan instruksi dari pusat. Ketiga kebijaksanaan
pemerintah pusat sering membutuhkan pula sumbangan sumberdaya daerah yang tidak
selalu berbentuk uang.
Sistem
Bantuan Kepada Daerah
Bagi
hasil penerimaan
Pemerintah daerah mendapat bagian dari penerimaan pemerintah pusat dari dua sumber:
(1)
Pajak Tanah dan Bangunan ,dengan pembagian sebagai berikut; pemerintah pusat
10%,propinsi 18%,Dati II 72%
(2)
Pungutan lisensi dan iuran pengusahaan hutan (HPH dan IHH);propinsi mendapat
bagian 40%.
Bantuan
untuk Pengeluaran Rutin
Di bawah mata anggaran Subsidi Daerah Otonom (SDO),diberikan berbagai bantuan
untuk pengeluaran rutin:
(1).Bantuan
(88% dari SDO) untuk belanja pegawai (tidak termasuk pembagian beras) yang
bekerja untuk pemerintah daerah yang telah diangkat menjadi pegawai
negri.belanja pegawai ini mencakup gaji,tunjangan jabatan,dan pensiun.Bantuan
ini mencakup jumlah pegawai yang besar sekali,termasuk sebagian besar sekolah
dasar,dan meliputi semua tingkat,dari pejabat tinggi sampai pegawai
kecil,termasuk supir dan pesuruh.
(2).Bantuan
blok (ganjaran) yang tidak besar,untuk propinsi dan Dati II untuk pengeluaran
rutin :nilainya 4% dari SDO
(3).SPP-
SDN (3% dari SDO),untuk menutup berbagai biaya menyelenggarakan pendidikan
dasar sebelumnya dibiayai dari uang sekolah.Biaya ini mencakup belanja
barang,upaya mendorong kegiatan olahraga dan tunjangan khusus untuk guru dan
tenaga pengawas
(4).
Bantuan lain-lain untuk belanja pegawai pemerintah daerah;untuk pegawai
kecamatan, latihan pegawai,dan pengganti penerimaan dari kutipan sebesar Rp.1
per liter bahan bakar yang telah dihapuskan
Bantuan
Inpres untuk Pengeluaran Pembangunan
Bantuan blok untuk pembangunan ini diberikan pada propinsi,Dati II dan desa:
(1).Bantuan
propinsi berupa sejumlah uang per propinsi dan diberikan sebesar berikut:Rp.12
milyar untuk masing-masing propinsi selebihnya,pada tahun 1986/87. Sebagian
dari bantuan itu (bagian ditetapkan) harus digunakan untuk memperbaiki atau
merawat ruas jalan tertentu dan saluran pengairan;selebihnya (bagian diarahkan)
tidak dibatasi ketentuan apa-apa tetapi perlu persetujuan pemerintah pusat bila
hendak digunakan.Bantuan pada propinsi tertentu juga meliputi dana pendamping
untuk program pembangunan propinsi yang mendapat bantuan dana dari luar negri
dan ditujukan untuk membangun perekonomian daerah-daerah miskin.
(2).Bantuan
untuk Dati II diberikan per kepala (Rp1.250,- pada tahun 1986/87),dengan jumlah
minimum Rp 170 juta per Dati II.Bantuan ini dimaksudkan untuk proyek-proyek
padat karya dan sebagian terbesar dipakai untuk memperbaiki prasarana fisik.
Jumlah bantuan diusulkan oleh Dati II,dan ini kemudian perlu persetujuan dan
pemantauan oleh tingkat pemerintah lebih tinggi.
(3).Bantuan
untuk desa,berupa satu jumlah per desa (Rp.350.000,- pada tahun 1986/87) dan
diberikan atas usul desa untuk pembangunan,berbeda dengan Inpres Dati
II,bantuan desa ditujukan untuk mendorong sumbangan tenaga kerja cuma-cuma.
Bantuan
Inpres untuk Pembangunan Sektor Tertentu:
Ada lima program semacam ini yang semuanya dilaksanakan oleh pemerintah Dati
II:
(1).Inpres
Sekolah Dasar,untuk membangun atau memperbaiki gedung sekolah,untuk belanja
buku dan alat-alat.
(2).Inpres
Kesehatan,untuk mebangun gedung pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan
puskesmas pembantu,untuk proyek air minum dan kesehatan lingkungan di
pedesaan,dan belanja obat-obatan di puskesmas.
(3).Inpres
Jalan,untuk mebangun dan memperbaiki jalan,terutama di pedesaan di luar Jawa.
(4).Inpres
penghijauan dan Reboisasi,untuk belanja kegiatan penghijauan dan membuat
pematang jenjang di bukit-bukit yang termakan erosi
(5).Inpres
Pasar,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun pasar
(6).Inpres
Pertokoan,memberikan pinjaman tanpa bunga untuk membangun
Hubungan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam era otonomi
daerah ini, bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari
dari:
o
Desentralisasi;
o Dekonsentrasi
dan tugas pembantuan; dan
o Pinjaman
daerah.
Desentralisasi
Fiskal
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah
kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan
(hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai
tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Dari sisi
keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa
konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.
Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke
daerah. Pada tahun anggaran 2000 (dengan periode 9 bulan), transfer berjumlah
Rp34 trilyun dari total belanja Rp197 trilyun. Dengan kata lain, sekitar
sekitar 17% belanja Pemerintah Pusat ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah
Daerah. Jumlah itu meningkat tajam baik dalam nominal maupun persentase. Pada
tahun anggaran 2002 ini, transfer dalam bentuk dana perimbangan direncanakan Rp
98 trilyun, atau sekitar 29% dari total belanja APBN.
Selain dalam bentuk Dana Perimbangan,Tahun Anggaran 2002 kepada daerah juga
diberikan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp3.4 trilyun. Dana
Otonomi Khusus sebesar Rp1.4 trilyun dialokasikan kepada Propinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan otonomi khusus dan Dana Penyeimbang sebesar Rp2 trilyun
dialokasikan kepada Daerah untuk menambah perolehan DAU TA 2002 khususnya bagi
daerah yang DAU-nya mengalami penurunan dari TA 2001.
Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke Daerah melalui Dana
Perimbangan telah menyebabkan berkurangnya porsi dana yang dikelola Pemerintah
Pusat, sebaliknya porsi dana yang menjadi tanggung jawab Daerah melalui APBD
meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga disertai
fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan
sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.
Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan
mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti
bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian
rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah
dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan
pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas
desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban
APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan
dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada Daerah diberikan kewenangan
untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil
penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal
sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber
dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana
bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh
Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah
Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
Pendapatan
Asli Daerah
Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber
penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan
potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi
diatur dengan UU 34/2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun
1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan PP Nomor 65 Tahun
2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11
jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan
pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh
hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan
praktis merupakan pungutan yang baik.
Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan
untuk memungut jenis pajak (kecuali propinsi) dan retribusi lainnya sesuai
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
Ditinjau dari kontribusi pajak Daerah dan retribusi Daerah, sampai saat ini
distribusi kewenangan perpajakan antara Daerah dengan Pusat terjadi ketimpangan
yang relatif besar. Hal ini tercermin dalam jumlah penerimaan pajak yang
dipungut Daerah hanya sekitar 3,45% dari total penerimaan pajak (pajak Pusat
dan Daerah). Demikian juga distribusi pajak antar Daerah juga sangat timpang
sekali dan bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600 kali).
Peranan pajak dalam pembiayaan Daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi
juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk,
keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan
masyarakat.
Bagian
Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan
Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara
pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase
tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi
hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut
kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun
1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah
diubah dengan PP 84 Tahun 2001.
Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000),
mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang
pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal
25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil
dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak
memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara
(APBN).
Pola sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal
(horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini
disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara
signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan
kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB,
BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki
oleh beberapa daerah saja.
Sementara itu, dengan berkembangnya keinginan beberapa Daerah untuk mendapatkan
bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya diluar yang sudah dibagihasilkan
sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, sebenarnya terdapat opsi/alternatif lain
yang lebih baik dilihat dari sudut akuntabilitas Pemerintah Daerah. Opsi
tersebut adalah “piggy backing” atau opsen atau penetapan tambahan atas pajak
Pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh Pemerintah Daerah
sendiri dan hasilnya juga diterima oleh Daerah yang bersangkutan. Opsen
tersebut misalnya dapat diberlakukan atas Pajak Penghasilan (PPh) Orang
Pribadi.
Dana
Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak
antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari
Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan
memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan
untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal
Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal
needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi
dari potensi penerimaan Daerah yang ada.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah
yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya
daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh
DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah
yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah
paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan
geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok
masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi
penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.
Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban
pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU
disamping menggunakan formula fiscal gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang.
Dalam formula dan perhitungan DAU TA 2001 (berdasarkan PP Nomor 104/2000) telah
dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Formulasi dan
perhitungan DAU TA 2001 dianggap mengandung banyak kelemahan terutama
menyangkut keadilan antar Daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses
tersebut merupakan proses awal/tahun pertama dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal.
Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah
ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk
mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan
dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar
Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi kepada Pemerintah dari Tim
Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas terkemuka yang selama ini
terlibat dalam kajian dibidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS).
Formula DAU tersebut telah disetujui oleh DPOD dan telah ditetapkan dengan PP
Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana
Perimbangan. Dalam perhitungan DAU TA 2002 (Rp69,1 triliun) terdapat beberapa
daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan
dibandingkan dengan DAU TA 2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang
baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001
khususnya daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan tersebut.
Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran DPR RI
telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula
DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan
tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001
ditambah Dana
Kontinjensi
2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana
untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar
Rp2.054,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU
berdasarkan formula pemerintah.
Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU
Propinsi, dimana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU
Propinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh
Propinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Propinsi sebesar Rp6,91
triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk
Propinsi sebesar Rp7,47 triliun.
Alokasi DAU TA 2002 untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota telah
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi
Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal
31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana
Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota.
Dana
Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah
(i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain,
misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis
investasi/
prasarana
baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan
saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas
nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan
penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari
penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah
penghasil. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan
Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan
hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas
nasional.
Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan,
Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas
Nomor : SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001,
dan Nomor : SE-522.4/947/5/BANGDA.
Atas dasar Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan penetapan alokasi oleh
Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur,
Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang
berlaku sebagai SKO untuk Kabupaten/Kota dalam wilayah 21 Propinsi penghasil.
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Selain
dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi,
bentuk lain hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block
grant” atau transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana
penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang
terakhir ini masih didominsasi oleh Pemerintah Pusat.
Dalam
hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan
langsung atas penggunaannya. Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint
venture” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Bentuk “joint
venture” itu secara umum sama antara dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
perbedaannya adalah pada rekan kerja Pemerintah Pusat
Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang
melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah
Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang
menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi
daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam
pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai
instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut
dilimpahkan ke daerah.
Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang tersebut sebenarnya merupakan
wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut
merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan dengan sendirinya bersumber dari
APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian hari kegiatan menghasilkan
pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak Pemerintah Pusat dan
dipertanggungjawabkan melalui APBN.
Dalam perkembangannya, hingga saat ini bentuk hubungan dekonsentrasi ini belum
dapat benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis
masih melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT
yang ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara
dua hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen
teknis untuk menyerahkan wewenang itu.
Pinjaman
Daerah
Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal
sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan
penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah dapat
melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga
Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber
pinjaman bisa berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman
berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung.
Penggunaan
:
1.Pinjaman
jangka panjang digunakan membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset
Daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga
dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman.
2’Pinjaman
jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang
sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.
Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam
kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan permasalahan yang mendesak
dan perlu segera diselesaikan, mengingat hal-hal berikut :
1.Sebagian besar
perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah ditandatangani,
namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya belum diatur secara jelas;
2.Sebagian proyek-proyek
pinjaman sedang berjalan (on-going);
3.Mekanisme untuk
repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman, bunga dan resiko terhadap
perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum diatur secara rinci;
4.Jaminan terhadap
pinjaman daerah masih belum jelas;
5.Akuntabilitas terhadap
pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas.
Guna
penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan
mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut:
6.Merumuskan kebijakan
Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal;
dan
7.Menyusun “mapping”
kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang
melakukan pembahasan dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan
mengenai on-lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri
Keuangan untuk mendapat penetapan.
Pengelolaan
Keuangan Daerah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
Misi utama dari UU 22/1999 dan UU 25/1999 bukan sekedar keinginan untuk
melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Semangat
desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas harus acuan
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan
keuangan Pemerintah Daerah pada khususnya.
Sebagai penjabaran dari UU 25/1999 dalam bidang pengelolaan keuangan daerah,
pemerintah mengeluarkan PP 105/2000 yang antara lain menjelaskan:
1.APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber
pendapatan dan penggunaan dana Pemda;
2.Struktur APBD disusun
dengan pendekatan kinerja, yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi
belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan, bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/
pembangunan;
3.Kepala Daerah menyusun
laporan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang terdiri atas Laporan
Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
Untuk
memudahkan derah melaksanakan amanat PP 105/2000 dimaksud, saat ini sedang
dilakukan penyusunan pedoman pengelolaan keuangan daerah. Pedoman-pedoman
tersebut meliputi :
4.Standar Akuntansi
Pemerintah (untuk Pusat dan Daerah), saat ini sedang disiapkan perangkat hukum
kelembagaannya yaitu Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik, yang anggotanya
terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Pemda, Perguruan
Tinggi, dan IAI.
BAB III
PENUTUP
III.1
KESIMPULAN
Sejalan
dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan
pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi,
dan secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman.
Arah reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas
publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan
retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.
Selain
itu, meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah
disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini,masih
perlu peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap
perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan,
ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada daftar pustaka nya ka? Kak
ReplyDelete