KATA PENGANTAR
السلام عليكم ور حمة الله و بر كا ته
Bismillahirrahmanirrahin.
Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan manusia beserta isinya. Tiada Tuhan selain Allah temapat kita
mencurahkan segalanya. Allah tiadak pernah membedakan umatnya hanya karena
fisiknya, kepandaiannya, kelebihannya, tapi Allah membedakkan umatnya
berdasarkan ketaqwaan yang dimiliki umatnya. Allah adalah satu-satunya yang
kita sembah. Dia-lah Zat yang kita sembah,tempat kita meminta pertolongan dan
ampunannya-Nya. Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan
kita,Nabi Muhammad SAW yang merupakan suri teladan. Berkat Nabi-lah kita dapat
merasakan dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan
samapai saat ini.
Alhamdulillah kami ucapkan, karena masih
diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu untuk
menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari bahwa terdapat
kekurangan di dalam makalah. Oleh
karena itu, dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
Wassalamualaikum
wr.wb
Pekanbaru,28
Maret 2015
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR
ISI...................................................................................................... 3
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................... 4
A.LATAR BELAKANG..................................................................... 4
B.RUMUSAN MASALAH................................................................. 4
C.TUJUAN........................................................................................... 4
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................... 5
A.DEFINISI DAKWAH..................................................................... 5
B.DALIL DAKWAH.......................................................................... 5
C.TUJUAN DAKWAH....................................................................... 6
D.METODE DAKWAH DALAM ALQUR’AN............................... 6
BAB
III PENUTUP 11
A.KESIMPULAN.............................................................................. 11
B.SARAN........................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Salah
satu kewajiban umat Muslim adalah berdakwah. Sebagian ulama ada yang
menyebut berdakwah itu hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif), sebagian
lainnya menyatakan fardu ‘ain. Meski begitu, Rasulullah SAW tetap selalu
mengajarkan agar seorang Muslim selalu menyeru pada jalan kebaikan dengan
cara-cara yang baik.
Jika kita
melihat ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah saw,kita akan banyak
menemukan fadhail (keutamaan) dakwah yang luar biasa. Dengan mengetahui,
memahami, dan menghayati keutamaan dakwah ini seorang muslim akan termotivasi
secara kuat untuk melakukan dakwah dan bergabung bersama kafilah dakwah di
manapun ia berada. Mengetahui keutamaan dakwah termasuk faktor terpenting yang
mempengaruhi konsistensi seorang muslim dalam berdakwah dan menjaga semangat
dakwah, karena keyakinan terhadap keutamaan dakwah dapat menjadikannya merasa
ringan menghadapi beban dan rintangan dakwah betapapun beratnya.
B. RUMUSAN
MASALAH
A.
Definisi dakwah islam!
B.
Dalil yang menjelaskan pentingnya berdakwah!
C.
Tujuan dakwah!
D.
Metode dakwah dalam al-qur’an!
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari pemilihan masalah ini adalah untuk
memberikan pengetahuan kepada para
pembaca tentang metode dakwah dalam al-qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi dakwah islam!
Kata Da’wah berasal dari
kata kerja dalam bahasa arab دعا-يدعو-دعوة و دعاء, yang secara bahasa mempunyai
beberapa makna: An-Nida’: memanggil, menyeru, mengundang. Ad-Dua’, Ad-Da’wah
dan Ad-Da’iyah: Mengajak dan menghasung orang lain kepada suatu perkara, baik
perkara yang baik maupun batil, perkara yang terpuji maupun yang tercela. Atau
suatu usaha berupa perkataan atau perbuatan untuk menarik menusia kepada suatu
aliran agama tertentu.[1]
Syaikh Jum’ah Amin Abdul
Aziz, “Da’wah adalah mengajak manusia –melalui perkataan dan perbuatan da’I
kepada islam, menerapakan manhajnya, memeluk aqidahnya, dan melaksanakan
syari’atnya.[2]
B. Dalil-dalil yang menjelaskan pentingnya berdakwah
1. Perintah berdakwah dalam Al Quran
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS an-Nahl [16]: 125).
2. Perintah berdakwah dalam As-Sunnah
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshariy Al-Badriy
radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan
maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR.
Muslim no.1893).
C. Tujuan dakwah islam
1.
Tujuan utama dan
satu-satunya da’wah islam adalah agar ummat manusia hanya beribadah kepada
Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun selain-Nya,
dengan meniti syari’at Raasulullah sebagai pedoman hidup mereka.
2.
Dengan kata lain, Da’wah
memiliki tujuan untuk mengeluarkan umat manusia; Dari kegelapan syirik menuju
cahaya tauhid, dari kegelapan kufur menuju cahaya iman, dari kegelapan
kebadohan menuju cahaya ilmu, dari kegalapan hawa nafsu dan pendapat manusia
menuju jalan ittiba’ rasul, dari kegalapan kezholiman menuju cahaya keadlilan,
dari kegelapan kemungkaran dan kemaksiatan menuju cahaya ketaatan.
3.
Da’wah yang benar akan
mengantarkan umat manusia kepada ridha Allah, jalan yang lurus, dan kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.[3]
D. Metode dakwah dalam al-qur’an
1. Metode al-hikmah
Kata
al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an.Secara etimologis, kata
ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan,
filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah
juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah
zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna
al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat tersebut, secara ringkas,
mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam arti “penelitian
terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan
penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia
hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti “kenabian
atau nubuwwah”.
Adapun
kata al-hikmah dalam ayatادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِmenurut
al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen
yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan.
Dengan
demikan, ungkapan bi al-hikmah ini berlaku bagi seluruh manusia sesuai dengan
perkembangan akal, pikiran dan budayanya, yang dapat diterima oleh orang yang
berpikir sederhana serta dapat menjangkau orang yang lebih tinggi
pengetahuannya. Sebab, yang dipanggil adalah pikiran, perasaan dan kemauan.
Dengan begitu, dipahami bahwa al-hikmah berarti meletakkan sesuatu pada
tempatnya dan pada tujuan yang dkehendaki dengan cara yang mudah dan bijaksana.
2. Metode
al-Maw’izah al-hasanah
Metode
dakwah kedua yang terkandung dalam QS.Al-Nahl (16) ayat 125 adalah metode
al-maw’izhat al-hasanah. Maw’izhat dari kataوعظ yang berarti nasehat.
Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk
mentaati dan memberi wasiat agar taat.Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an
sebanyak 9 kali.Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena
mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta
mengandung nilai-nilai keuniversalan.Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka
dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa
keburukan.
Metode
dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam al-Qur’an dengan memakai
kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide
yang dikehendakinya, seperti nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya.Tetapi,
nasehat al-Qur’an itu menurut Quraish Shihab, tidak banyak manfaatnya jika
tidak dibarengi dengan teladan dari penasehat itu sendiri. Dalam hal ini,
Rasulullah saw. yang patut dijadikan panutan, karena pada diri beliau telah
terkumpul segala macam keistimewaan sehingga orang-orang yang mendengar
ajarannya dan sekaligus melihat penjelmaan ajaran itu pada diri beliau sehingga
akhirnya terdorong untuk meyakini ajaran itu dan mencontoh pelaksanaannya.
Maw’izhah
disifati dengan hasanah (yang baik), menurut Quraish, karena nasehat itu ada
yang baik dan ada yang buruk. Nasehat dikatakan buruk dapat disebabkan karena
isinya memang buruk, di samping itu, ia juga dipandang buruk manakala
disampaikan oleh orang yang tidak dapat diteladani.
Metode
dakwah al-maw’izhah al-hasanah merupakan cara berdakwah yang disenangi;
mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka; memudahkan dan tidak
menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan obyek dakwah
bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan
yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya.
Seorang
da’i selain memberi nasehat kepada orang lain, juga kepada diri dan keluarga
sendiri, bahkan harus lebih dahulu menasehati diri dan keluarganya, baru orang
lain. Nasehat itu harus pula dibarengi dengan contoh kongkrit dengan maksud
untuk ditiru oleh umat yang dinasehati, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad saw. seperti pelaksanaan shalat dan sebagainya. Selain itu, dipahami
pula bahwa dakwah yang disampaikan itu tidak hanya teori, tetapi juga praktek
nyata yang dilakukan oleh da’i itu sendiri.
3. Metode
al-Mujàdalah
Firman
Allah, “Dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik,” berdialoglah dengan
mereka dengan lembut, halus, dan sapaan yang sopan, sebagaimana hal itupun
deperintahkan Allah kepada Musa dan Harun tatkala diutus menghadap Fir’aun,
seperti difirmankan, “Maka berbicaralah kamu berdua dengannya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.”(Thaha:
44)[4]
Al-Mujàdalah
terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal
(diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa
tempat dalam al-Qur’an.
Dari
kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu:
membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli
kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam
berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu.
Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan
wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah
ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik)
menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan
yang buruk.
Sayyid
Qutb memberikan penjelasan tentang metode dakwah ini; dakwah dengan
al-mujàdalah bi allatiy hiya ahsan ialah dakwah yang tidak mengandung unsur
pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan ketenangan dan
kelegaan bagi juru dakwah.Tujuan perdebatan bukanlah mencapai kemenangan, tetapi
penerimaan dan penyampaian kepada kebenaran. Jiwa manusia itu mengandung unsur
keangkuhan, dan itu tidak dapat ditundukkan dengan pandangan yang saling
menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak ada yang merasa kalah.
Dalam diri manusia bercampur antara pendapat dan harga diri, maka jangan ada
maksud untuk tidak mengakui pendapat, kehebatan dan kehormatan
mereka.Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat meredam keangkuhan
ini; dan pihak yang berdebat merasa bahwa harga diri dan kehormatan mereka
tidak tersinggung. Sesungguhnya juru dakwah tidaklah bermaksud lain, kecuali
mengungkapkan inti kebenaran dan menunjukkan jalan ke arah itu, yakni di jalan
Allah, bukan di jalan kemenangan suatu pendapat dan kekalahan pendapat yang
lain.
Dalam
melaksanakan dakwah dengan model diskusi ini, seorang da’i, selain harus
menguasai ajaran Islam dengan baik juga harus mampu menahan diri dari sikap
emosional dalam mengemukakan argumennya. Dia tidak boleh menyinggung perasaan
dan keyakinan orang lain, sebab akan merugikan da’i, sehingga usaha dakwah
dapat mengalami kegagalan. Yang paling baik ialah bahwa seorang da’i harus
mampu bersikap lemah lembut dan menghargai pendapat orang lain diskusi sehingga
tercipta suasana yang kondusif di medan diskusi.Ayat ke 125 dari surat An-Nahl
tersebut menggambarkan bahwa debat itu haruslah dalam rangka mengungkapkan
kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai batil di hadapan orang yang tetap
‘ngotot’ dengan kebatilannya dan kuat penentangannya sekalipun telah jelas
kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang bolong.
Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi batil,
serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar
dan tepat, lalu dibangunlah kebenaran atas dasar argumen atau dalil yang tepat
tersebut. Inilah hakikat debat yang dikehendaki Allah Swt.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Da’wah adalah mengajak manusia –melalui perkataan dan
perbuatan da’I kepada islam, menerapakan manhajnya, memeluk aqidahnya, dan
melaksanakan syari’atnya.
Metode-metode
dalam al-qur’an yaitu sebagai berikut:
1. Metode al-hikmah
2. Metode al-Maw’izah al-hasanah
3. Metode al-Mujàdalah
B. SARAN
Apabila ada kekurangan dan kesalahan
dalam penulisan makalah ini, kami selaku penulis menerima kritikan dan saran
yang bersifat membangun agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi makalah
yang sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Fiqh Da’wah:
Prinsip dan Kaidah Asasi Da’wah Isalm, hal. 27.
Lisanul
‘Arab, Al-Misbah Al-munir, dan AL-Mu’jam Al-Wasith pada entri do’a.
Majmu’ Fatawa
15/157.
Mizanul
Muslim Barometer Menuju Islam Kaffah, Abu Ammar & Abu Fatiah Adnanai, hal.
156.
Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Jilid 2, Hal.1078.
No comments:
Post a Comment