Translate

Tuesday 26 May 2015

Penelitian

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.
Rumah sakit sekarang ini mengalami kemajuan dan perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya peralatan medis atau peralatan kedokteran yang semakin canggih yang dimiliki oleh rumah sakit dan semakin banyaknya rumah sakit yang berdiri atas prakarsa pemerintah. Situasi ini mendorong penyedia jasa (dalam hal ini rumah sakit) untuk mendapatkan konsumen dan membuat konsumen merasa puas sehingga konsumen loyal terhadap rumah sakit.
Kotler (1997) mengatakan bahwa perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang memuaskan dan menyenangkan pelanggan mereka. Selain itu Kotler juga berpendapat bahwa dalam hubungan antara penyedia jasa dengan konsumen lebih mudah untuk membangun hubungan yang sudah terjalin dibandingkan dengan harus mencari konsumen baru. Bentuk perilaku ini bermacam-macam mulai dari memeriksakan kesehatannya atau check-up, rawat inap, konsultasi kesehatan, dan lain sebagainya.
Kemajuan dan perkembangan rumah sakit akan sangat tergantung dari kualitas pelayanan yang diberikan. Jika pelayanan yang diberikan baik maka pasien di rumah sakit tersebut akan merasa puas. Peran dokter, perawat, maupun staf lain di rumah sakit sangat penting. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu komponen dalam pelayanan di rumah sakit dan menjadi tolak ukur yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit (www.kompas.com). Namun, selama ini perawat belum menunjukkan profesionalismenya dalam bekerja. Misalnya pada saat mengatasi pasien yang terjangkit penyakit demam berdarah. Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang berjangkit setiap musim penghujan tiba terutama untuk Indonesia yang merupakan daerah tropis. Setiap rumah sakit dipenuhi oleh pasien demam berdarah. Namun, pihak rumah sakit selalu kewalahan dalam menangani  pasien-pasien tersebut. Pelayanan yang diberikan perawat cenderung cepat namun asal-asalan dan apa adanya. Pelayanan yang kurang memuaskan ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan yang ada sangatlah rendah. Misalnya pada Januari 2006 di Bantaeng, sebuah kota yang terdapat di Sulawesi Selatan tercatat empat orang meninggal dunia karena penyakit demam berdarah. Terlambatnya penanganan yang diberikan oleh dokter dan perawat mengindikasikan bahwa kualitas pelayanan yang diberikan rendah. Selain itu pasien yang datang terlambat ke rumah sakit juga menyebabkan terlambatnya penanganan yang diberikan (www.kompas.com).
Status ekonomi pasien juga menjadi salah satu faktor perawat kurang profesional dalam merawat pasiennya selain kualitas pelayanan yang diberikan kurang memuaskan. Pasien yang berada di status ekonomi rendah (kurang mampu) terkadang diberikan pelayanan hanya seadanya saja dan bahkan ditelantarkan. Lain halnya dengan pasien yang berstatus ekonomi menengah dan tinggi (mampu). Perawat berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik kepada mereka. Terkadang pasien dari golongan ini lebih dahulu dilayani daripada pasien yang berada di status ekonomi rendah (Suryawati dkk, 2006). Rumah sakit pada dasarnya bertujuan memberikan kepuasan bagi pasiennya. Dalam konsep perspektif mutu total (Perspectif Total Quality) dikatakan bahwa pasien merupakan penilai terakhir dari kualitas, sehingga kualitas dapat dijadikan salah satu senjata untuk mempertahankan pasien di masa yang akan datang. Kualitas pelayanan sangat penting dalam meningkatkan kepuasan pasien dan dengan sendirinya akan menumbuhkan citra rumah sakit tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (dalam Rusmawati,1998), hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas pelayanan di rumah sakit baik pelayanan keperawatan maupun pelayanan tenaga spesialis masih rendah. Kualitas pelayanan yang masih rendah ini berdampak pada pasien yang tidak mau menggunakan jasa rumah sakit untuk berobat apabila sakit.
Pasien sebagai pengguna jasa rumah sakit tidak luput dari permasalahan yang menyangkut kepuasan yang dialaminya. Hal ini terbukti dengan adanya kasus kesalapahaman yang terjadi antara pasien dengan perawat di RSSA Malang karena kurangnya komunikasi antara pasien dengan perawat (Jawa Pos, 2004), perawat yang kurang ramah terhadap pasien (Kompas, 2002), dan perawat yang salah memberikan penanganan terhadap pasiennya yang menyebabkan pasiennya meninggal dunia yang terjadi di salah satu rumah sakit di Semarang (www.liputan6.com). Selain itu ada juga orang yang takut berobat ke rumah sakit karena mereka tidak percaya pada rumah sakit. Hal ini disebabkan karena kondisi dan ruangan rumah sakit yang menyeramkan, tidak adanya suasana kekeluargaan, serta kurangnya komunikasi antara petugas rumah sakit dengan keluarga pasien. Kasus-kasus di atas membuat pasien merasa tidak puas terhadap rumah sakit tempat mereka dirawat. Untuk itulah rumah sakit beserta para dokter dan perawat agar dapat meningkatkan profesionalismenya dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas kepada pasien sehingga pasien dan keluarganya merasa puas. pasien melaporkan perawat kepada direktur rumah sakit karena pelayanan yang diberikan perawat yang terjadi salah satu rumah sakit di Pontianak (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita)
Kasus lainnya menyatakan bahwa Rumah sakit belum ramah terhadap warga dan pasien miskin. Hal ini terbukti dengan banyaknya keluhan pasien miskin terutama dari kelompok perempuan terhadap pelayanan rumah sakit. Keluhan tersebut antara lain terkait dengan buruknya pelayanan perawat, sedikitnya kunjungan dokter pada pasien rawat inap, serta lamanya pelayanan oleh tenaga kesehatan (apoteker dan petugas laboratorium). Selain itu, pasien juga mengeluhkan buruknya kualitas toilet, tempat tidur, makanan pasien dan rumitnya pengurusan administrasi serta mahalnya harga obat. Lebih lanjut, pasien miskin menyatakan bahwa pengurusan administrasi rumah sakit masih rumit dan berbelit-belit dengan antrian yang panjang . Pasien rawat inap misalnya mengeluhkan rendahnya kunjungan dan disiplin dokter terhadap mereka. Sedangkan, pasien perempuan rawat inap mengeluhkan sikap perawat yang kurang ramah dan simpatik terhadap mereka. Berdasarkan hasil survey ini dapat disimpulkan bahwa rumah sakit belum ramah/berpihak terhadap pasien miskin. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya pasien miskin yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Keluhan tersebut antara lain terkait dengan:
1.      Rendahnya kunjungan dokter, perawat tak ramah, petugas kesehatan yang lamban.
2.      Pengurusan administrasi yang rumit dengan antrean panjang serta calo pengurusan administrasi.
3.      Rumah sakit masih melakukan penolakan terhadap pasien miskin dengan berbagai alasan. Beberapa alasan diantaranya tidak dapat diterima seperti tidak ada tempat tidur, peralatan tidak lengkap, dokter tidak tersedia dan harus ada uang muka.
4.      Rendahnya kualitas fasilitas dan sarana rumah sakit terutama pada kelas III seperti wc, tempat tidur dan ruang rawat inap dan ruang tunggu rawat jalan.
5.      Pasien miskin masih mengeluarkan biaya cukup besar untuk kesembuhannya terutama untuk pembelian obat. Kartu jaminan kesehatan tidak menjamin biaya tersebut menjadi gratis.



PEMBAHASAN

2.1 Analisis Kasus
Sebelum menjelaskan konsep pelayanan publik terlebih dahulu akan dijelaskan konsep layanan. Layanan pada dasarnya merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud (Intangibel) serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Menurut Monier (1998:16) “ pelayanan adalah suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. akan tetapi dalam kenyataan pelaksanannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat.
Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Sejak reformasi, bebagai penyempurnaan yang telah dilakukan dalam kaitannya dengan sistem pelayanan publik yang berasas kepemerintahan yang baik (good governance) tetapi masih banyak instansi terkait yang belum memberikan pelayanan memuaskan pada masyarakat. Masalah pelayanan, terutama yang berhubungan langsung dengan semua lapisan masyarakat, tentu tidak dapat disamakan metode dan sistem pelayanannya setiap instansi karena objeknya berbeda, misalnya dosen tentu yang dilayani adalah mahasiswa, pegawai bank yang dilayani adalah nasabah, guru malayani muridnya, pegawai rumah sakit melayani orang sakit.
Bekaitan dengan pelayanan, paling tidak ada 3 hal yang harus dipahami oleh pegawai
1.              Dimana dia bekerja (Where he warked)
2.              Apa tugas yang harus dikerjakan (Her job)
3.              Siapa yang harus dilayani (Services) Misalnya dosen melayani mahasiswa, tentu beda dengan pegawai rumah sakit melayani pasien yang terkadang rewel dan cengeng.
Memasuki abad 21 berbagai tantangan yang dihadapi, salah satunya adalah kompetisi di bidang pelayanan, maka sudah saatnya para birokrasi mengubah pola lama ke pola baru dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Ada 2 hal untuk memotivasi diri yaitu;
·         Syukuri atas jabatan atau pekerjaan yang diberikan kepada kita.   
·         Layani masyarakat dengan ikhlas apapun karak-teristiknya.
Secara umum, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan dengan pelayanan publik antara lain:
1)      Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2)      Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan good governance, profesional, efektif, dan efesien.
3)      Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur pelayanan kepada masyarakat dengan berorientasi pada metode organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu.
4)      Birokrasi harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan.
5)      Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang berkinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang terstruktur, inovatif, fleksibel, dan responsif.
Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa birokrasi harus lebih mengutamakan pendekatan pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Organisasi birokrasi, perlu penataan dan penyempurnaan organisasi menuju asas good governance, propesional, efektif, dan efesien, serta benar-benar menguasai bidang tugasnya, guna memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
2.2 Konsep Teori
Birokrasi Max Webber
Konsep Birokrasi menurut Max Webber Nenek moyang dari Birokrasi adalah Max Webber. Dalam teorinya Webber membahas bahwa suatu organisasi untuk menciptakan nilai produksi yang tinggi adalah dengan menggunakan sistem birokrasi. webber membahasa bahwa suatu organisasi untuk menciptakan nilai produksi yang tinggi adalah dengan menggunakan sistem birokrasi. Model birokrasi Webber digunakan diseluruh instansi besar di dunia untuk membuat kinerja perusahaan/lembaga lebih efektif dan efisisen. birokrasi Webber menekankan pada aspek struktur anggaran perlu di bentuk dalam organisasi yang di gunakan untuk mengukur suatu kenyataan. Webber beranggapan bahwa manusia mempunyai batasan dalam bekerja sehingga membutuhkan manusaia lain untuk bekerja.
Teori birokrasi Webber antara lain dengan ciri dari birokrasi :
1)      Adanya spesialisasi, atau pembagian kerja, dalam hal ini tugas-tugas organisasi dibagi ke berbagai posisi sebagai tugas resmi. Disini tersebut pembagian kerja yang jelas di antara posisi-posisi tersebut, yang memungkinkan spesialisasi tingkat tinggi. Spesialisasi pada gilirannya meningkatkan keahlian staf, baik secara langsung maupun dengan memungkinkan organisasi untuk mempekerjakan karyawan atas dasar kualifikasi teknis mereka.
2)      Adanya hirarki yang berkembang. Dalam kasus umum hierarki ini mengambil bentuk piramida dimana tiap pejabat bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan bawahan serta keputusan dan tindakan dia sendiri kepada atasannya di dalam piramida itu, dan dimana setiap pejabat memiliki otoritas atas para pejabat di bawahnya. Lingkup otoritas supervisor atas bawahan digariskan dengan jelas.
3)      Adanya suatu sistem dari suatu prosedur dan aturan-aturan. Pada prinsipnya kerja dalam organisasi administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturan-peraturan umum untuk kasus-kasus khusus. Peraturan menjamin keseragaman operasi, dan bersama dengan struktur otoritas, memungkinkan koordinasi dari berbagai aktifitas. Peraturan juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun ada perubahan-perubahan personel, sehingga meningkatkan stabilitas, yang tidak dimiliki oleh tipe kelompok kolektivitas, seperti gerakan-gerakan sosial.
4)      Adanya hubungan-hubungan kelompok yang bersifat impersionalitas. Para pejabat diharapkan memiliki orientasi impersonal dalam kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien harus diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan mengesampingkan semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosional, dan bawahan diperlakukan juga dalam cara impersonal.
5)      Adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan atas kecakapan. Pekerjaan didasarkan pada kualifikasi teknis kandidat dan bukan atas dasar politik, keluarga atau koneksi-koneksi lain. Kualifikasi semacam itu harus ditest dengan ujian. Kualifikasi pendidikan akan menciptakan jumlah homogenitas tertentu di antara para pejabat. Para pejabat ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi bukan dipilih, sehingga bergantung pada atasan dalam organisasi dan bukan pada konstituen.Kemajuan karir adalah sesuai dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya


 

Layanan Bermutu


I. Pendahuluan

Beberapa rumah sakit masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintah karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layana kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilemma antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
Mutu seharusnya menjadi kepedulian semua orang, baik dari sisi pemilik, pengelola, karyawan, maupun pelanggan. Mengapa kepedulian tersebut harus dibangun? Hal ini karena pelayanan yang bermutu merupakan hak dan sekaligus tuntutan pasien sebagai pelanggan. Di dalam era dengan kompetisi yang sangat ketat maka hidup matinya sebuah organisasi layanan kesehatan sangat bergantung pada pasien sebagai pelanggan. Kualitas layanan yang prima akan menciptakan pelanggan yang sesungguhnya (true coustomer). Yaitu pelanggan yang puas, bangga memilih organisasi layanan anda bahkan dengan senang hati menjadi pelanggan loyal organisasi layanan kesehatan anda setelah mereka merasakan pengalaman mutu layanan kesehatan yang anda berikan. Dengan demikian, agar organisasi layanan kesehatan dapat tetap bertahan hidup dan berkembang, maka upaya peningkatan mutu layanan kesehatan merupakan suatu keharusan. Dengan upaya peningkatan mutu layanan, diharapkan pasien sebagai pelanggan tetap menaruh kepercayaan pada institusi layanan kesehatan untuk merawat masalah kesehatan yang dideritanya.
Kesadaran dan kepedulian terhadap mutu memang semakin meningkat. Sekalipun demikian, masih terdapat beberapa mitos yang dipercaya mengenai mutu. Sebagaian masyarakat percaya mutu merupakan sesuatu hal yang bersifat luks, mewah, dan mahal. Padahal layanan yang bermutu justru dapat menciptakan efisiensi yang luar biasa. Mutu juga dianggap bersifat abstrak sehingga tidak dapat diukur. Padahal para ahli telah menciptakan berbagai instrumen dalam pengukuran mutu dari berbagai dimensi. Upaya peningkatkan mutu dalam suatu organisasi, termasuk organisasi kesehatan dianggap harus dilakukan oleh badan mutu yang bersifat khusus dan dengan biaya yang tinggi. Apakah memang demikian? Untuk itu buku ini mencoba memberikan bahasan konsep dan strategi terkini mengenai peningkatan mutu layanan kesehatan yang menjadi penting untuk diketahui
II. Pengertian
Istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda, ketika ia digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu.
1. Beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu dikatakan bermutu tinggi ketika sesuatu tersebut dianggap lebih baik, lebih cepat, lebih cemerlang, lux, lebih wah, dan biasanya lebih mahal dibandingkan produk atau layanan yang mutunya dianggap lebih rendah. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar.
2. Beberapa orang mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan. Padahal layanan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan medis profesional. Bahkan bisa terjadi di sebuah institusi layanan kesehatan seperti rumah sakit jika pasien datang di Unit Gawat Darurat langsung ditangani "diinfus". Pasien puas karena mereka merasa langsung "ditangani" padahal infus tidak selalu diperlukan. Bahkan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping seperti oedem pulmo.
3. Mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standard operating procedure atau prosedur tetap medis. Anehnya di beberapa rumah sakit pendidikan milik pemerintah yang menerapkan prosedur medis tetap tersebut dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelit belit ( sehingga dari kacamata pasien rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang diterapkan lebih fleksibel.
4. Perusahan asuransi, pembayar dan penanggung biaya layanan kesehatan akan memiliki persepsi yang berbeda pula tentang layanan kesehatan yang bermutu. Bagaimanapun kepuasan pasien dan prosedur layanan medis canggih yang diberikan jika tidak efisien tentu oleh penanggung biaya dianggap kurang bermutu.

Jadi mutu layanan kesehatan banyak arti tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya apakah dari sisi pelanggan, pemberi pelayanan, maupun sudut pandang pembayar. Sehingga dapat dipahami memang mutu merupakan sebuah isu tentang persepsi personal dan juga isu mengenai nilai.
Mutu juga bersifat multidimensi dan memiliki banyak segL Sehingga dalam pemaknaannya, Donabedian (1980) membedakan mutu berdasarkan pandangan yang bersifat individualis, absolutis dan sosialis.
1. Pandangan individualis : pelayanan bermutu adalah sesuai dengan apa yang diharapkan, dirasakan dan diterima oleh individu pasien.
2. Pandangan absolutis lebih mengarah pada nilai-nilai profesional medis absolut yang ditetapkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Misal pelayanan bermutu adalah pelayanan yang sesuai standar professional tanpa mempedulikan harapan customer.
3. Pandangan sosialis layanan kesehatan bermutu: jika keseluruhan masyarakat, sebagian besar masyarakat mendapatkan akses layanan kesehatan, atau tingkat kesehatan masyarakat seperti ditunjukkan rendahnya morbiditas dan mortalitas serta harapan hidup yang tinggi di masyarakat.
Oleh karena itu dapat diartikan bahwa layanan bermutu dalam pengertian yang luas dan komprehensif adalah sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal (Cosby, 1984, Donabedian, 1980, Zeithaml et al 1990).
Berbagai pakar memiliki konsep dan pegertian tersendiri.
Creech, misalnya. la mengemukakan bahwa terdapat lima pilar manajemen mutu, yaitu produk, proses, organisasi, kepemimpinan, dan komitmen. Sementara itu, konsep mengenai standar mutu dikemukakan oleh Donabedian. Di antara standar mutu tersebut adalah standar input, proses dan output. Sementara itu, Deming menguraikan empat belas prinsip mengenai mutu, yang terdiri atas beberapa prinsip berikut ini:
1. peningkatan mutu merupakan tujuan yang secara konsisten hendak dicapai,
2. penerapan filosofi mutu,
3. pengurangan ketergantungan pada pengawasan,
4. penghentian pendapat bahwa "harga membawa nama",
5. peningkatan yang berkesinambungan sistem pelayanan dan produksi,
6. pendidikan dan pelatihan karyawan,
7. kepemimpinan yang mempunyai komitmen terhadap mutu,
8. penghilangan rasa takut dalam iklim kerja,
9. penghilangan barier antar unit kerja,
10. pembatasan slogan,
11. pengurangan penekanan pada angka pencapaian target,
12. penghilangan hambatan terhadap kepuasan kerja,
13. perencanaan dan pelaksanaan program diklat yang membangun, dan
14. pelaksanaan proses perubahan

No comments:

Post a Comment