Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan
diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi
pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah
sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan
rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.
Rumah sakit sekarang ini mengalami
kemajuan dan perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan
ilmu kedokteran. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya peralatan medis atau
peralatan kedokteran yang semakin canggih yang dimiliki oleh rumah sakit dan
semakin banyaknya rumah sakit yang berdiri atas prakarsa pemerintah. Situasi
ini mendorong penyedia jasa (dalam hal ini rumah sakit) untuk mendapatkan
konsumen dan membuat konsumen merasa puas sehingga konsumen loyal terhadap
rumah sakit.
Kotler (1997) mengatakan bahwa
perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang memuaskan dan menyenangkan
pelanggan mereka. Selain itu Kotler juga berpendapat bahwa dalam hubungan
antara penyedia jasa dengan konsumen lebih mudah untuk membangun hubungan yang
sudah terjalin dibandingkan dengan harus mencari konsumen baru. Bentuk perilaku
ini bermacam-macam mulai dari memeriksakan kesehatannya atau check-up,
rawat inap, konsultasi kesehatan, dan lain sebagainya.
Kemajuan dan perkembangan rumah sakit akan sangat tergantung
dari kualitas pelayanan yang diberikan. Jika pelayanan yang diberikan baik maka
pasien di rumah sakit tersebut akan merasa puas. Peran dokter, perawat, maupun
staf lain di rumah sakit sangat penting. Perawat sebagai salah satu tenaga
kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu komponen dalam pelayanan di rumah
sakit dan menjadi tolak ukur yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan di
rumah sakit (www.kompas.com). Namun,
selama ini perawat belum menunjukkan profesionalismenya dalam bekerja. Misalnya
pada saat mengatasi pasien yang terjangkit penyakit demam berdarah. Demam
berdarah merupakan salah satu penyakit yang berjangkit setiap musim penghujan
tiba terutama untuk Indonesia yang merupakan daerah tropis. Setiap rumah sakit
dipenuhi oleh pasien demam berdarah. Namun, pihak rumah sakit selalu kewalahan
dalam menangani pasien-pasien tersebut.
Pelayanan yang diberikan perawat cenderung cepat namun asal-asalan dan apa
adanya. Pelayanan yang kurang memuaskan ini menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan yang ada sangatlah rendah. Misalnya pada Januari 2006 di Bantaeng,
sebuah kota yang terdapat di Sulawesi Selatan tercatat empat orang meninggal
dunia karena penyakit demam berdarah. Terlambatnya penanganan yang diberikan
oleh dokter dan perawat mengindikasikan bahwa kualitas pelayanan yang diberikan
rendah. Selain itu pasien yang datang terlambat ke rumah sakit juga menyebabkan
terlambatnya penanganan yang diberikan (www.kompas.com).
Status ekonomi pasien juga menjadi salah satu faktor perawat
kurang profesional dalam merawat pasiennya selain kualitas pelayanan yang
diberikan kurang memuaskan. Pasien yang berada di status ekonomi rendah (kurang
mampu) terkadang diberikan pelayanan hanya seadanya saja dan bahkan
ditelantarkan. Lain halnya dengan pasien yang berstatus ekonomi menengah dan
tinggi (mampu). Perawat berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik kepada
mereka. Terkadang pasien dari golongan ini lebih dahulu dilayani daripada
pasien yang berada di status ekonomi rendah (Suryawati
dkk, 2006). Rumah sakit pada dasarnya bertujuan memberikan kepuasan bagi
pasiennya. Dalam konsep perspektif mutu total (Perspectif Total Quality) dikatakan
bahwa pasien merupakan penilai terakhir dari kualitas, sehingga kualitas dapat
dijadikan salah satu senjata untuk mempertahankan pasien di masa yang akan
datang. Kualitas pelayanan sangat penting dalam meningkatkan kepuasan pasien
dan dengan sendirinya akan menumbuhkan citra rumah sakit tersebut. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (dalam
Rusmawati,1998), hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
di rumah sakit baik pelayanan keperawatan maupun pelayanan tenaga spesialis
masih rendah. Kualitas pelayanan yang masih rendah ini berdampak pada pasien
yang tidak mau menggunakan jasa rumah sakit untuk berobat apabila sakit.
Pasien sebagai pengguna jasa rumah sakit tidak luput dari
permasalahan yang menyangkut kepuasan yang dialaminya. Hal ini terbukti dengan
adanya kasus kesalapahaman yang terjadi antara pasien dengan perawat di RSSA
Malang karena kurangnya komunikasi antara pasien dengan perawat (Jawa Pos, 2004), perawat yang kurang ramah terhadap pasien (Kompas, 2002), dan perawat yang salah memberikan penanganan
terhadap pasiennya yang menyebabkan pasiennya meninggal dunia yang terjadi di
salah satu rumah sakit di Semarang (www.liputan6.com).
Selain itu ada juga orang yang takut berobat ke rumah sakit karena mereka tidak
percaya pada rumah sakit. Hal ini disebabkan karena kondisi dan ruangan rumah
sakit yang menyeramkan, tidak adanya suasana kekeluargaan, serta kurangnya
komunikasi antara petugas rumah sakit dengan keluarga pasien. Kasus-kasus di
atas membuat pasien merasa tidak puas terhadap rumah sakit tempat mereka
dirawat. Untuk itulah rumah sakit beserta para dokter dan perawat agar dapat
meningkatkan profesionalismenya dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan
pelayanan yang terbaik dan berkualitas kepada pasien sehingga pasien dan
keluarganya merasa puas. pasien melaporkan perawat kepada direktur rumah sakit
karena pelayanan yang diberikan perawat yang terjadi salah satu rumah sakit di
Pontianak (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita)
Kasus lainnya menyatakan bahwa
Rumah sakit belum ramah terhadap warga dan pasien miskin. Hal ini terbukti
dengan banyaknya keluhan pasien miskin terutama dari kelompok perempuan
terhadap pelayanan rumah sakit. Keluhan tersebut antara lain terkait dengan
buruknya pelayanan perawat, sedikitnya kunjungan dokter pada pasien rawat inap,
serta lamanya pelayanan oleh tenaga kesehatan (apoteker dan petugas
laboratorium). Selain itu, pasien juga mengeluhkan buruknya kualitas toilet,
tempat tidur, makanan pasien dan rumitnya pengurusan administrasi serta
mahalnya harga obat. Lebih
lanjut, pasien miskin menyatakan bahwa pengurusan administrasi rumah sakit
masih rumit dan berbelit-belit dengan antrian yang panjang . Pasien rawat inap
misalnya mengeluhkan rendahnya kunjungan dan disiplin dokter terhadap mereka.
Sedangkan, pasien perempuan rawat inap mengeluhkan sikap perawat yang kurang
ramah dan simpatik terhadap mereka. Berdasarkan hasil survey ini dapat
disimpulkan bahwa rumah sakit belum ramah/berpihak terhadap pasien miskin. Hal
ini ditunjukkan oleh masih banyaknya pasien miskin yang mengeluhkan pelayanan
rumah sakit. Keluhan tersebut antara lain terkait dengan:
1. Rendahnya kunjungan dokter, perawat
tak ramah, petugas kesehatan yang lamban.
2. Pengurusan administrasi yang rumit
dengan antrean panjang serta calo pengurusan administrasi.
3. Rumah sakit masih melakukan
penolakan terhadap pasien miskin dengan berbagai alasan. Beberapa alasan
diantaranya tidak dapat diterima seperti tidak ada tempat tidur, peralatan
tidak lengkap, dokter tidak tersedia dan harus ada uang muka.
4. Rendahnya kualitas fasilitas dan
sarana rumah sakit terutama pada kelas III seperti wc, tempat tidur dan ruang
rawat inap dan ruang tunggu rawat jalan.
5. Pasien miskin masih mengeluarkan
biaya cukup besar untuk kesembuhannya terutama untuk pembelian obat. Kartu
jaminan kesehatan tidak menjamin biaya tersebut menjadi gratis.
PEMBAHASAN
2.1 Analisis Kasus
Sebelum menjelaskan konsep pelayanan
publik terlebih dahulu akan dijelaskan konsep layanan. Layanan pada dasarnya
merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak
lain dan pada dasarnya tidak berwujud (Intangibel) serta tidak menghasilkan
kepemilikan sesuatu. Menurut Monier (1998:16) “ pelayanan adalah suatu proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung.
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan
publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. akan
tetapi dalam kenyataan pelaksanannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk
melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat.
Birokrasi di dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk penyelenggaraan pelayanan publik)
diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat
menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Sejak reformasi, bebagai
penyempurnaan yang telah dilakukan dalam kaitannya dengan sistem pelayanan
publik yang berasas kepemerintahan yang baik (good governance) tetapi masih
banyak instansi terkait yang belum memberikan pelayanan memuaskan pada
masyarakat. Masalah pelayanan, terutama yang berhubungan langsung dengan semua
lapisan masyarakat, tentu tidak dapat disamakan metode dan sistem pelayanannya
setiap instansi karena objeknya berbeda, misalnya dosen tentu yang dilayani
adalah mahasiswa, pegawai bank yang dilayani adalah nasabah, guru malayani
muridnya, pegawai rumah sakit melayani orang sakit.
Bekaitan dengan pelayanan, paling
tidak ada 3 hal yang harus dipahami oleh pegawai
1.
Dimana dia bekerja (Where he warked)
2.
Apa tugas yang harus dikerjakan (Her
job)
3.
Siapa yang harus dilayani (Services)
Misalnya dosen melayani mahasiswa, tentu beda dengan pegawai rumah sakit
melayani pasien yang terkadang rewel dan cengeng.
Memasuki abad 21 berbagai tantangan yang dihadapi, salah
satunya adalah kompetisi di bidang pelayanan, maka sudah saatnya para birokrasi
mengubah pola lama ke pola baru dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat.
Ada 2 hal untuk memotivasi diri yaitu;
·
Syukuri atas jabatan atau pekerjaan
yang diberikan kepada kita.
·
Layani masyarakat dengan ikhlas
apapun karak-teristiknya.
Secara umum, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang
telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku
berkaitan dengan pelayanan publik antara lain:
1)
Birokrasi harus lebih mengutamakan
sifat pendekatan tugas pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan
kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2)
Birokrasi perlu melakukan
penyempurnaan organisasi yang bercirikan good governance, profesional, efektif,
dan efesien.
3)
Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan perubahan sistem dan prosedur pelayanan kepada masyarakat dengan
berorientasi pada metode organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan
ketepatan waktu.
4)
Birokrasi harus memosisikan diri
sebagai fasilitator pelayan publik sebagai agen pembaharu (agent of change)
pembangunan.
5)
Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan transformasi diri dari birokrasi yang berkinerjanya kaku (rigid)
menjadi organisasi birokrasi yang terstruktur, inovatif, fleksibel, dan
responsif.
Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
birokrasi harus lebih mengutamakan pendekatan pengayoman dan pelayanan
masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
Organisasi birokrasi, perlu penataan dan penyempurnaan organisasi menuju asas
good governance, propesional, efektif, dan efesien, serta benar-benar menguasai
bidang tugasnya, guna memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
2.2 Konsep Teori
Birokrasi Max Webber
Konsep Birokrasi menurut Max Webber Nenek moyang dari
Birokrasi adalah Max Webber. Dalam teorinya Webber membahas bahwa suatu
organisasi untuk menciptakan nilai produksi yang tinggi adalah dengan
menggunakan sistem birokrasi. webber membahasa bahwa suatu organisasi untuk
menciptakan nilai produksi yang tinggi adalah dengan menggunakan sistem
birokrasi. Model birokrasi Webber digunakan diseluruh instansi besar di dunia
untuk membuat kinerja perusahaan/lembaga lebih efektif dan efisisen. birokrasi
Webber menekankan pada aspek struktur anggaran perlu di bentuk dalam organisasi
yang di gunakan untuk mengukur suatu kenyataan. Webber beranggapan bahwa
manusia mempunyai batasan dalam bekerja sehingga membutuhkan manusaia lain
untuk bekerja.
Teori birokrasi Webber antara lain dengan ciri dari
birokrasi :
1)
Adanya spesialisasi, atau pembagian
kerja, dalam hal ini tugas-tugas organisasi dibagi ke berbagai posisi sebagai
tugas resmi. Disini tersebut pembagian kerja yang jelas di antara posisi-posisi
tersebut, yang memungkinkan spesialisasi tingkat tinggi. Spesialisasi pada
gilirannya meningkatkan keahlian staf, baik secara langsung maupun dengan
memungkinkan organisasi untuk mempekerjakan karyawan atas dasar kualifikasi
teknis mereka.
2)
Adanya hirarki yang berkembang.
Dalam kasus umum hierarki ini mengambil bentuk piramida dimana tiap pejabat
bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan bawahan serta keputusan dan
tindakan dia sendiri kepada atasannya di dalam piramida itu, dan dimana setiap
pejabat memiliki otoritas atas para pejabat di bawahnya. Lingkup otoritas
supervisor atas bawahan digariskan dengan jelas.
3)
Adanya suatu sistem dari suatu
prosedur dan aturan-aturan. Pada prinsipnya kerja dalam organisasi
administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturan-peraturan umum untuk
kasus-kasus khusus. Peraturan menjamin keseragaman operasi, dan bersama dengan
struktur otoritas, memungkinkan koordinasi dari berbagai aktifitas. Peraturan
juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun ada perubahan-perubahan personel,
sehingga meningkatkan stabilitas, yang tidak dimiliki oleh tipe kelompok
kolektivitas, seperti gerakan-gerakan sosial.
4)
Adanya hubungan-hubungan kelompok
yang bersifat impersionalitas. Para pejabat diharapkan memiliki orientasi
impersonal dalam kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien
harus diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan
mengesampingkan semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosional,
dan bawahan diperlakukan juga dalam cara impersonal.
5)
Adanya promosi dan jabatan yang
berdasarkan atas kecakapan. Pekerjaan didasarkan pada kualifikasi teknis
kandidat dan bukan atas dasar politik, keluarga atau koneksi-koneksi lain.
Kualifikasi semacam itu harus ditest dengan ujian. Kualifikasi pendidikan akan
menciptakan jumlah homogenitas tertentu di antara para pejabat. Para pejabat
ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi bukan dipilih, sehingga bergantung pada
atasan dalam organisasi dan bukan pada konstituen.Kemajuan karir adalah sesuai
dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya
Layanan Bermutu
I. Pendahuluan
Beberapa rumah sakit masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintah karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layana kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilemma antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
Mutu seharusnya menjadi kepedulian semua orang, baik dari sisi pemilik, pengelola, karyawan, maupun pelanggan. Mengapa kepedulian tersebut harus dibangun? Hal ini karena pelayanan yang bermutu merupakan hak dan sekaligus tuntutan pasien sebagai pelanggan. Di dalam era dengan kompetisi yang sangat ketat maka hidup matinya sebuah organisasi layanan kesehatan sangat bergantung pada pasien sebagai pelanggan. Kualitas layanan yang prima akan menciptakan pelanggan yang sesungguhnya (true coustomer). Yaitu pelanggan yang puas, bangga memilih organisasi layanan anda bahkan dengan senang hati menjadi pelanggan loyal organisasi layanan kesehatan anda setelah mereka merasakan pengalaman mutu layanan kesehatan yang anda berikan. Dengan demikian, agar organisasi layanan kesehatan dapat tetap bertahan hidup dan berkembang, maka upaya peningkatan mutu layanan kesehatan merupakan suatu keharusan. Dengan upaya peningkatan mutu layanan, diharapkan pasien sebagai pelanggan tetap menaruh kepercayaan pada institusi layanan kesehatan untuk merawat masalah kesehatan yang dideritanya.
Kesadaran dan kepedulian terhadap mutu memang semakin meningkat. Sekalipun demikian, masih terdapat beberapa mitos yang dipercaya mengenai mutu. Sebagaian masyarakat percaya mutu merupakan sesuatu hal yang bersifat luks, mewah, dan mahal. Padahal layanan yang bermutu justru dapat menciptakan efisiensi yang luar biasa. Mutu juga dianggap bersifat abstrak sehingga tidak dapat diukur. Padahal para ahli telah menciptakan berbagai instrumen dalam pengukuran mutu dari berbagai dimensi. Upaya peningkatkan mutu dalam suatu organisasi, termasuk organisasi kesehatan dianggap harus dilakukan oleh badan mutu yang bersifat khusus dan dengan biaya yang tinggi. Apakah memang demikian? Untuk itu buku ini mencoba memberikan bahasan konsep dan strategi terkini mengenai peningkatan mutu layanan kesehatan yang menjadi penting untuk diketahui
II. Pengertian
Istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda, ketika ia digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu.
1. Beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu dikatakan bermutu tinggi ketika sesuatu tersebut dianggap lebih baik, lebih cepat, lebih cemerlang, lux, lebih wah, dan biasanya lebih mahal dibandingkan produk atau layanan yang mutunya dianggap lebih rendah. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar.
2. Beberapa orang mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan. Padahal layanan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan medis profesional. Bahkan bisa terjadi di sebuah institusi layanan kesehatan seperti rumah sakit jika pasien datang di Unit Gawat Darurat langsung ditangani "diinfus". Pasien puas karena mereka merasa langsung "ditangani" padahal infus tidak selalu diperlukan. Bahkan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping seperti oedem pulmo.
3. Mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standard operating procedure atau prosedur tetap medis. Anehnya di beberapa rumah sakit pendidikan milik pemerintah yang menerapkan prosedur medis tetap tersebut dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelit belit ( sehingga dari kacamata pasien rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang diterapkan lebih fleksibel.
4. Perusahan asuransi, pembayar dan penanggung biaya layanan kesehatan akan memiliki persepsi yang berbeda pula tentang layanan kesehatan yang bermutu. Bagaimanapun kepuasan pasien dan prosedur layanan medis canggih yang diberikan jika tidak efisien tentu oleh penanggung biaya dianggap kurang bermutu.
Jadi mutu layanan kesehatan banyak arti tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya apakah dari sisi pelanggan, pemberi pelayanan, maupun sudut pandang pembayar. Sehingga dapat dipahami memang mutu merupakan sebuah isu tentang persepsi personal dan juga isu mengenai nilai.
Mutu juga bersifat multidimensi dan memiliki banyak segL Sehingga dalam pemaknaannya, Donabedian (1980) membedakan mutu berdasarkan pandangan yang bersifat individualis, absolutis dan sosialis.
1. Pandangan individualis : pelayanan bermutu adalah sesuai dengan apa yang diharapkan, dirasakan dan diterima oleh individu pasien.
2. Pandangan absolutis lebih mengarah pada nilai-nilai profesional medis absolut yang ditetapkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Misal pelayanan bermutu adalah pelayanan yang sesuai standar professional tanpa mempedulikan harapan customer.
3. Pandangan sosialis layanan kesehatan bermutu: jika keseluruhan masyarakat, sebagian besar masyarakat mendapatkan akses layanan kesehatan, atau tingkat kesehatan masyarakat seperti ditunjukkan rendahnya morbiditas dan mortalitas serta harapan hidup yang tinggi di masyarakat.
Oleh karena itu dapat diartikan bahwa layanan bermutu dalam pengertian yang luas dan komprehensif adalah sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal (Cosby, 1984, Donabedian, 1980, Zeithaml et al 1990).
Berbagai pakar memiliki konsep dan pegertian tersendiri.
Creech, misalnya. la mengemukakan bahwa terdapat lima pilar manajemen mutu, yaitu produk, proses, organisasi, kepemimpinan, dan komitmen. Sementara itu, konsep mengenai standar mutu dikemukakan oleh Donabedian. Di antara standar mutu tersebut adalah standar input, proses dan output. Sementara itu, Deming menguraikan empat belas prinsip mengenai mutu, yang terdiri atas beberapa prinsip berikut ini:
1. peningkatan mutu merupakan tujuan yang secara konsisten hendak dicapai,
2. penerapan filosofi mutu,
3. pengurangan ketergantungan pada pengawasan,
4. penghentian pendapat bahwa "harga membawa nama",
5. peningkatan yang berkesinambungan sistem pelayanan dan produksi,
6. pendidikan dan pelatihan karyawan,
7. kepemimpinan yang mempunyai komitmen terhadap mutu,
8. penghilangan rasa takut dalam iklim kerja,
9. penghilangan barier antar unit kerja,
10. pembatasan slogan,
11. pengurangan penekanan pada angka pencapaian target,
12. penghilangan hambatan terhadap kepuasan kerja,
13. perencanaan dan pelaksanaan program diklat yang membangun, dan
14. pelaksanaan proses perubahan
I. Pendahuluan
Beberapa rumah sakit masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintah karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layana kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilemma antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
Mutu seharusnya menjadi kepedulian semua orang, baik dari sisi pemilik, pengelola, karyawan, maupun pelanggan. Mengapa kepedulian tersebut harus dibangun? Hal ini karena pelayanan yang bermutu merupakan hak dan sekaligus tuntutan pasien sebagai pelanggan. Di dalam era dengan kompetisi yang sangat ketat maka hidup matinya sebuah organisasi layanan kesehatan sangat bergantung pada pasien sebagai pelanggan. Kualitas layanan yang prima akan menciptakan pelanggan yang sesungguhnya (true coustomer). Yaitu pelanggan yang puas, bangga memilih organisasi layanan anda bahkan dengan senang hati menjadi pelanggan loyal organisasi layanan kesehatan anda setelah mereka merasakan pengalaman mutu layanan kesehatan yang anda berikan. Dengan demikian, agar organisasi layanan kesehatan dapat tetap bertahan hidup dan berkembang, maka upaya peningkatan mutu layanan kesehatan merupakan suatu keharusan. Dengan upaya peningkatan mutu layanan, diharapkan pasien sebagai pelanggan tetap menaruh kepercayaan pada institusi layanan kesehatan untuk merawat masalah kesehatan yang dideritanya.
Kesadaran dan kepedulian terhadap mutu memang semakin meningkat. Sekalipun demikian, masih terdapat beberapa mitos yang dipercaya mengenai mutu. Sebagaian masyarakat percaya mutu merupakan sesuatu hal yang bersifat luks, mewah, dan mahal. Padahal layanan yang bermutu justru dapat menciptakan efisiensi yang luar biasa. Mutu juga dianggap bersifat abstrak sehingga tidak dapat diukur. Padahal para ahli telah menciptakan berbagai instrumen dalam pengukuran mutu dari berbagai dimensi. Upaya peningkatkan mutu dalam suatu organisasi, termasuk organisasi kesehatan dianggap harus dilakukan oleh badan mutu yang bersifat khusus dan dengan biaya yang tinggi. Apakah memang demikian? Untuk itu buku ini mencoba memberikan bahasan konsep dan strategi terkini mengenai peningkatan mutu layanan kesehatan yang menjadi penting untuk diketahui
II. Pengertian
Istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda, ketika ia digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu.
1. Beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu dikatakan bermutu tinggi ketika sesuatu tersebut dianggap lebih baik, lebih cepat, lebih cemerlang, lux, lebih wah, dan biasanya lebih mahal dibandingkan produk atau layanan yang mutunya dianggap lebih rendah. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar.
2. Beberapa orang mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan. Padahal layanan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan medis profesional. Bahkan bisa terjadi di sebuah institusi layanan kesehatan seperti rumah sakit jika pasien datang di Unit Gawat Darurat langsung ditangani "diinfus". Pasien puas karena mereka merasa langsung "ditangani" padahal infus tidak selalu diperlukan. Bahkan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping seperti oedem pulmo.
3. Mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standard operating procedure atau prosedur tetap medis. Anehnya di beberapa rumah sakit pendidikan milik pemerintah yang menerapkan prosedur medis tetap tersebut dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelit belit ( sehingga dari kacamata pasien rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang diterapkan lebih fleksibel.
4. Perusahan asuransi, pembayar dan penanggung biaya layanan kesehatan akan memiliki persepsi yang berbeda pula tentang layanan kesehatan yang bermutu. Bagaimanapun kepuasan pasien dan prosedur layanan medis canggih yang diberikan jika tidak efisien tentu oleh penanggung biaya dianggap kurang bermutu.
Jadi mutu layanan kesehatan banyak arti tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya apakah dari sisi pelanggan, pemberi pelayanan, maupun sudut pandang pembayar. Sehingga dapat dipahami memang mutu merupakan sebuah isu tentang persepsi personal dan juga isu mengenai nilai.
Mutu juga bersifat multidimensi dan memiliki banyak segL Sehingga dalam pemaknaannya, Donabedian (1980) membedakan mutu berdasarkan pandangan yang bersifat individualis, absolutis dan sosialis.
1. Pandangan individualis : pelayanan bermutu adalah sesuai dengan apa yang diharapkan, dirasakan dan diterima oleh individu pasien.
2. Pandangan absolutis lebih mengarah pada nilai-nilai profesional medis absolut yang ditetapkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Misal pelayanan bermutu adalah pelayanan yang sesuai standar professional tanpa mempedulikan harapan customer.
3. Pandangan sosialis layanan kesehatan bermutu: jika keseluruhan masyarakat, sebagian besar masyarakat mendapatkan akses layanan kesehatan, atau tingkat kesehatan masyarakat seperti ditunjukkan rendahnya morbiditas dan mortalitas serta harapan hidup yang tinggi di masyarakat.
Oleh karena itu dapat diartikan bahwa layanan bermutu dalam pengertian yang luas dan komprehensif adalah sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal (Cosby, 1984, Donabedian, 1980, Zeithaml et al 1990).
Berbagai pakar memiliki konsep dan pegertian tersendiri.
Creech, misalnya. la mengemukakan bahwa terdapat lima pilar manajemen mutu, yaitu produk, proses, organisasi, kepemimpinan, dan komitmen. Sementara itu, konsep mengenai standar mutu dikemukakan oleh Donabedian. Di antara standar mutu tersebut adalah standar input, proses dan output. Sementara itu, Deming menguraikan empat belas prinsip mengenai mutu, yang terdiri atas beberapa prinsip berikut ini:
1. peningkatan mutu merupakan tujuan yang secara konsisten hendak dicapai,
2. penerapan filosofi mutu,
3. pengurangan ketergantungan pada pengawasan,
4. penghentian pendapat bahwa "harga membawa nama",
5. peningkatan yang berkesinambungan sistem pelayanan dan produksi,
6. pendidikan dan pelatihan karyawan,
7. kepemimpinan yang mempunyai komitmen terhadap mutu,
8. penghilangan rasa takut dalam iklim kerja,
9. penghilangan barier antar unit kerja,
10. pembatasan slogan,
11. pengurangan penekanan pada angka pencapaian target,
12. penghilangan hambatan terhadap kepuasan kerja,
13. perencanaan dan pelaksanaan program diklat yang membangun, dan
14. pelaksanaan proses perubahan
No comments:
Post a Comment